Swadaya Collection Part 9
Tauhid Nur Azhar
Agar Hubungan Suami Istri Dipenuhi Keberkahan
Tauhid Nur Azhar
Bagi orang beriman, semua yang dilakukannya adalah bagian dari ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Maka, ibadah bukan hanya shalat, puasa, atau zakat. Hubungan suami istri pun adalah ibadah. Karena niatnya ibadah, dia bukan sekadar aktivitas fisik, tetapi juga berkaitan erat dengan aspek ruhaniah. Keterpaduan keduanya akan menjadikan hubungan intim menjadi gerbang awal melahirkan generasi unggul.
Bagaimana bisa?
Al-Quran menganalogikan wanita sebagai ladang-ladang yang siap di tanami, sedangkan laki-laki sebagai pemilik benih. Tentu saja, untuk menghasilkan panen yang memuaskan, ada sejumlah faktor yang harus diperhitungkan, mulai dari benihnya yang berkualitas, tanahnya yang subur, dan cara menanamnya yang baik dan sesuai aturan.
Maka, Rasulullah saw. bersabda, “Pilihlah lahan untuk menanam benihmu. Karena wanita melahirkan orang-orang yang mirip saudara-saudara laki-laki dan perempuanmu.” (HR Ibnu Adî dan Ibnu ‘Asakir dari ‘Aisyah)
Dalam konteks ini, suami istri perlu memerhatikan beberapa hal ketika melaksanakan hubungan agung tersebut, yaitu: (1) Pemilihan waktu pembuahan yang tepat. (2) Menjalankan Tahajud secara istiqamah. (3) Hubungan dilakukan pada hari-hari seusai menjalankan shaum sunnah.
Kemudian, (4) jika pembuahan direncanakan pada bulan Ramadhan, shalat Witir dapat diakhirkan sampai menjelang sahur dan pembuahan dilakukan setelah Witir. (5) Minum air putih tiga takaran atau takaran ganjil lainnya sesuai kemampuan.
(6) Makan malam dengan metode perlimaan, yaitu cara makan dengan jeda (interval) setiap lima kali suapan. Jeda dapat dilakukan dengan berhenti sejenak, menarik napas beberapa kali, atau menarik napas dan dilanjutkan dengan menelan seteguk air putih. Hal ini dilakukan untuk mengoptimalkan kinerja enzim pencernaan.
Bagaimana pelaksanaannya? Pada awal proses pembuahan yang diawali proses persetubuhan, suami istri hendaknya mengucapkan doa, ”Bismillâhi, Allâhumma jannibnasy syaythâna wa jannibisy syaithâna mâ razaqtanâ”. (Artinya), “Dengan nama Allah, ya Allah, jauhkanlah kami dari gangguan setan dan jauhkanlah setan dari rezeki yang akan Engkau anugerahkan kepada kami.” (HR Al-Bukhari)
Doa ini akan membebaskan janin yang kelak akan dikandung ibu dari sifat-sifat “panas” hawa nafsu. Sel-sel nutfah bapak dan ibu yang telah berdoa akan membawa sifat qana’ah, tenang, dan didominasi protein kebaikan.
Jika dalam sehari semalam manusia memiliki manzilah (lintasan) biologis, waktu utama bagi suami istri untuk merancang kehamilan melalui proses pembuahan adalah pada sepertiga malam terakhir atau sebelum datangnya waktu Subuh. Pada waktu itu, suami istri melakukan shalat Tahajud yang ditutup dengan shalat Witir. Sebagai pertanda berakhirnya satu siklus harian, seluruh sistem reproduksi kita berada pada tingkat kesalehan tertinggi.
Adapun hari terbaik adalah Jumat pagi setelah sebelumnya suami dan istri menjalankan shaum Kamis dan juga Selasa pagi setelah shaum Senin. Atau, hari-hari di mana bulan sedang mengalami purnama, dan suami istri telah selesai menjalankan shaum Ayyammul Bidh atau shaum tiga hari pada pertengahan bulan.
Persiapan jasmaniah pun diperlukan agar keturunan yang akan lahir memiliki kesempurnaan jasmaniah. Bapak dan ibu membutuhkan volume cairan tubuh yang optimal. Untuk itu, sebelum menjalankan Tahajud disarankan untuk minum air putih sebanyak tiga gelas (@ 250 ml).
Air adalah zat dengan polaritas netral dan mampu menguraikan unsur-unsur penting dalam tubuh agar dapat terdistribusi dengan sempurna sampai kepada saluran reproduksi. Sifat molekul air, yang mampu mengurangi sifat elektronegativitas sel nutfah, akan membantu proses pembuahan agar berlangsung secara sempurna.
Waktu minum yang dilakukan sebelum Tahajud dimaksudkan agar selama shalat malam, air akan “tergetar” oleh lantunan doa. Kemudian, secara bersama-sama akan membentuk bangunan-bangunan molekuler baru yang akan menyelaraskan “getaran” sel-sel nutfah tersebut.
Getaran doa saat Tahajud adalah getaran dengan frekuensi rindu. Rasa kangen kepada Zat Yang Mahatinggi akan memicu hormon endorfin, peniletilamin (PEA), dan oksitosin. Ketiga hormon itu akan melukis rasa rindu ibu kepada Allah Ta’ala dalam sel-sel nutfah dan kelak pada sel-sel alaqah (darah) serta mudghah (daging).
Dengan demikian, sejak terjadinya persatuan antara sel nutfah (sperma) dari bapak dan sel telur dari ibu, sejak itu pula terjadi pembelahan demi pembelahan sel. Setiap ibu shalat, berzikir, dan memanjatkan doa, saat itu pula sel-sel calon-calon bayi membelah dengan iringan energi doa, hingga akhirnya ia lahir ke dunia. ***
Mycobacterium vaccae, si Mungil Pembawa Kebahagiaan dan Penguat Kecerdasan
Tauhid Nur Azhar
Ada berjuta keajaiban di alam semesta yang semuanya membawa muatan cinta dan kasih sayang Allah Azza wa Jalla. Dan sejujurnya, manusia tidak akan pernah mampu menyingkap semua kesempurnaan tersebut. Halaman-halaman kertas pun terlalu terbatas untuk menuliskan semua itu. Namun demikian, manusia diwajibkan untuk berusaha menyingkap semua hakikat yang ada sesuai kapasitas dan kapabilitas yang dimilikinya.
Salah satu tanda kuasa Allah di muka bumi adalah bakteri, ya bakteri. Makhluk mikro yang kerap disu’udzani, diburuksangkai, dan dijadikan tersangka manakala manusia terganggu kesehatannya. Namun, benarkah seperti itu? Apakah semua bakteri menjadi agen membawa penyakit bagi manusia?
Tentu saja, tidaklah Allah menciptakan suatu makhluk kecuali ada misi kebaikan di dalamnya. Ada tugas mulia yang diembannya. Ada nilai-nilai positif yang dibawanya. Keterbatasan ilmu dan pengetahuan manusialah yang menjadikan mereka tampak tidak berguna. Pada akhirnya, alih-alih dijadikan sahabat, mereka diperlakukan bak musuh besar yang harus dibinasakan.
Ada sangat banyak jenis bakteri. Di sini kita ambil satu saja sebagai contoh, yaitu Mycobacterium vaccae, salah satu spesies bakteri tanah. Dilihat dari nasabnya, Vaccae ini termasuk saudara dekatnya Mycobacterium tuberculosa, sang legenda pencabut nyawa rakyat jelata di negara-negara tidak berdaya di mana kemiskinan bersimaharajalela.
Namun, berbeda dengan saudaranya, sang Vaccae ini adalah agen kebahagiaan dan cinta. Bagaimana bisa? Ketika hujan turun misalnya, jutaan Mycobacterium vaccae di tanah kering yang terkena tetesan air hujan akan terhempas ke udara. Mereka kemudian terhirup dan masuk ke dalam tubuh manusia.
Mereka berlomba menembus dinding-dinding bola alveoli di paru-paru. Mereka seolah sudah tahu apa yang mereka mau dan apa yang mereka tuju. Maka, mereka pun rela dihanyutkan oleh aliran darah yang mengalir dengan derasnya, menelusuri nyaris 97 ribu kilometer labirin-labirin penting yang sambung-menyambung dan tidak pernah henti memompa denyut kehidupan.
Vaccae mengalami perjalanan panjang. Dia akan mengalir terpompa sampai ke pusat otak serta kelak menjalin kerjasama dengan bagian yang menghasilkan zat kimia bahagia. Zat kebahagiaan yang menghadirkan ketenangan ini bernama serotonin. Suatu zat yang tersusun dari asam amino triptofan, yang tidak hanya sekadar menghadirkan ketenangan akan tetapi mampu pula melahirkan kecerdasan.
Di sini, kita layak menyimak hasil penelitian Dorothy Matthews dan Susan Jenks dari The Sage College New York. Mereka mendapati satu fakta bahwa bakteri tanah itu jika masuk ke dalam tubuh manusia saat beraktivitas di lahan-lahan terbuka, dia akan merangsang proses produksi serotonin yang membantu kita meregulasi mood. Jika mood dan emosi tertata maka sirkuit kecerdasan di kulit otak juga akan teraktivasi, kita jadi lebih pintar!
Maka, bagi yang paham makna kuasa Allah Ta’ala dalam wujud bakteri kecil ini beserta tugas yang dibawanya, setiap hujan membawa pesan. Setiap hujan menjadi infrastruktur kecerdasan yang melahirkan dan menumbuhkan keimanan. ***
Warna Pakaian sebagai Cermin Psikologis Pemakainya
Tauhid Nur Azhar
Dalam diri manusia bersemayam sejumlah emosi yang memungkinkannya untuk berekspresi dengan beragam tampilan. Para psikolog membedakan emosi-emosi tersebut ke dalam dua katagori, yaitu emosi dasar (primer) dan emosi campuran (mixed).
R. Plutchik misalnya, dia mengungkapkan ada empat emosi dasar dalam diri manusia, yaitu kegembiraan (joy), ketakutan (fear), kesedihan (sadness), dan kemarahan (anger). Ada pula dua emosi lain yang belum disepakati sebagai emosi dasar, yaitu keterkejutan (surprise) dan rasa jijik (disgust).
Perpaduan di antara keenam emosi dasar tersebut atau perpaduan dengan emosi lainnya akan melahirkan emosi jenis kedua, yaitu emosi campuran. Sebagai contoh, emosi senang (joy) yang berkombinasi dengan penerimaan (acceptance) akan melahirkan emosi cinta (love), emosi sedih (sadness) yang berkombinasi dengan kejutan (surprise) akan melahirkan kekecewaan yang mendalam (disappointment).
Agar bisa tersalurkan, emosi memerlukan beragam alat sehingga seseorang bisa mengkomunikasikannya kepada lain walau seringkali tanpa sadar. Salah satunya adalah pakaian. Dengan demikian, pakaian yang dikenakan sedikit banyak mencerminkan aspek psikologis (baca: emosi) pemakainya.
Kita dapat membaca aspek psikologis seseorang dari jenis busana yang dipakai dan jenis warna yang dipilihnya. Orang yang gemar memakai pakaian berwarna gelap misalnya, memiliki karakter psikologis tertentu yang berbeda dengan orang yang gemar memakai pakaian berwarna cerah.
Kita ambil contoh warna hitam. Penggemar warna hitam cenderung sulit ditebak, tidak suka tampil blak-blakan, dan berpembawaan kalem. Karakter ”misterius” terpancar pada kegelapan warna hitam. Kecuali itu, warna hitam pun dapat mewakili sebuah penampilan yang elegan dan seksi.
Adapun penggemar warna-warna cerah, dia terkesan lebih supel dalam bergaul, dinamis, mudah ditebak, dan berpembawaan ceria, riang, gembira. Itulah mengapa, warna-warna cerah melambangkan semangat, patriotisme, dan gejolak. Lihatlah warna merah yang mencerminkan sikap tangguh dan independen, sekaligus mewakili keberanian dan kemandirian.
Lalu ada orange, sebagai perpaduan antara warna kuning dan merah. Warna ini identik dengan tipikal orang yang menyukai tantangan dan senang menjadi pusat perhatian. Busana berwarna orange apalagi jika dipadukan dengan aksesori wanita yang menarik dipercaya dapat menaikkan mood dan semangat.
Bagaimana dengan kuning? Inilah warna cerah yang melambangkan kecerdasan dan intelektual yang tinggi. Kuning juga sering diidentikkan dengan warna outdoor. Penyuka warna ini biasanya seorang yang optimis, tangguh, dan tahan banting.
Ada kuning ada pula warna pink. Warna pink identik dengan warnanya kaum wanita, khususnya wanita muda, remaja, dan anak-anak. Warna ini memang identik dengan kesan girlie dan feminin. Spektrum warnanya terkesan lembut dan cukup mewakili perasaan jatuh cinta nan berbunga-bunga.
Di antara warna cerah dan gelap terdapat warna lembut yang diwakili oleh hijau dan biru. Warna hijau identik dengan alam dan segala yang berbau natural. Penggemar warna ini biasanya adalah penyuka hal-hal yang natural dan pencinta kedamaian.
Adapun penggemar warna biru, dia cenderung menyukai kenyamanan. Penyuka warna biru biasanya sangat menyukai ketenangan. Itulah mengapa, apabila seseorang ingin merasa nyaman dan diterima tanpa harus tampil sangat percaya diri warna biru bisa menjadi pilihan.
Satu warna dasar dalam busana wanita adalah putih. Warna ini sangat identik dengan kebersihan, kesucian, dan kewibawaan. Selain hitam, putih pun termasuk warna yang paling aman karena dapat dipadupadankan dengan segala warna. Seperti apa karakter penyuka warna putih? Yang bersangkutan biasanya penuh pertimbangan, hati-hati, dan setia. ***
Terapi Kejujuran pada Bulan Ramadhan
Tauhid Nur Azhar
Secara fitriah hati itu bersifat lembut (latifah), mudah tersentuh, dan sangat peka terhadap berbagai perubahan psikologis yang terjadi. Setiap hati sejatinya membimbing kita untuk “pulang” kepada sumber kedamaian, mewartakan kerinduan pada kebenaran hakiki. Kompas di hati setiap manusia adalah kompas ”hanif” yang cenderung untuk selalu menunjukkan jalan yang benar.
Bencana akan terjadi ketika sifat hanif dari hati manusia mulai tergerus. Kondisi ini kita sebut ”erosi hati”, yaitu ketika nilai-nilainya tersapu kuatnya arus hawa nafsu. Salah satu tampilan paling nyata dari erosi hati tersebut adalah ketidakjujuran.
Apa saja bentuknya? Setidaknya ada lima bentuk ketidakjujuran — sebagai efek nyata dari erosi hati — yang tampak pada orang yang telah terjangkiti olehnya. Pertama, banyak berkata dusta walaupun dalam hal yang kecil dan remeh temeh. Kedua, sering menambah-nambah atau mendramatisasi berita dan informasi, atau sebaliknya, meniadakan apa yang harus disampaikan.
Ketiga, bertindak sok tahu atau sok pintar sehingga akan banyak berbicara tanpa ilmu yang bisa dipertanggungjawabkan. Keempat, tidak terampil menjaga amanat, mudah membocorkan rahasia, dan enteng dalam membeberkan aib orang lain. Kelima, banyak ingkar janji dan sangat mudah dalam mengobral janji.
Kelima hal ini adalah penyakit yang akan membinasakan manusia di dunia dan akhirat sehingga Rasulullah saw. meminta kita untuk menjauhinya. “Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur.”
Beliau melanjutkan sabdanya, “Berhati-hatilah pula dari berbuat dusta (tidak jujur), karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR Muslim, №2607)
Mengapa kejujuran bisa menghancurkan? Sesungguhnya, setiap ketidakjujuran — apapun dan bagaimana pun bentuknya — pasti akan terdeteksi oleh hati. DNA kita pun akan mengingkarinya. Hal inilah yang kemudian melahirkan ketakutan yang akan merangsang timbulnya hormon takut (stokofobin dan kortisol).
Tingginya kadar stokofobin dan kortisol menjadikan thawaf dan tasbihnya sel-sel di dalam tubuh menjadi kacau. Karena hormon kecemasan ini beredar ke seluruh tubuh sehingga rasa takut dan cemas ini pun akan mendominasi diri. Akibatnya sudah bisa diduga, seseorang menjadi manusia yang berjiwa tidak tenang. Bawaannya resah dan gelisah. Dan, ketidaktenangan jiwa pada akhirnya akan menyeret manusia pada kehancuran, baik fisik maupun psikis, baik jiwa maupun raga, di dunia maupun akhirat.
***
Agar manusia tidak terseret pada kebinasaan, Allah Ta’ala hadirnya perintah dan larangan beserta konsekuensinya. Salah satunya adalah dihadirkannya syariat puasa pada bulan Ramadhan beserta beragam ibadah tambahannya.
Maka lihatlah, pada bulan mulia ini, hawa nafsu yang tidak terkendali, yang menyebabkan terjadinya erosi hati, di mana ketidakjujuran menjadi salah satu produknya, menjadi titik fokus untuk ditaklukkan dan dikendalikan. Pemenuhan kebutuhan fisik dan biologis, walaupun itu halal sifatnya, diatur sedemikian rupa dengan pengaturan terbaik. Orang pun tidak bisa sembarangan makan, minum, atau berhubungan suami istri, kecuali pada saat yang telah ditentukan.
Demikian halnya perbuatan yang kurang pantas, sia-sia, terlebih lagi yang berkonsekuensi dosa dan penyimpangan, Allah tutup rapat-rapat atas hamba-hamba-Nya. Dengan berpuasa, orang terjaga dari maksiat, dari perkataan kotor, dusta, ingkar janji, dan sejenisnya. Siapa melakukannya, tidak berguna haus dan laparnya.
Selama sebulan lamanya orang-orang beriman dikondiskan untuk berjiwa muraqabah. Ibaratnya, dia di tempatkan di sebuah ruangan yang dipenuhi CCTV. Tidak ada ruang baginya untuk berdusta, memanipulasi, dan aneka ketidakjujuran lainnya. Dia dikondisikan untuk dekat dengan Allah dan senantiasa merasa diawasi oleh-Nya dalam setiap gerak langkahnya.
Maka, siapa yang menjalani bulan Ramadhan dengan landasan ilmu, iman dan kesungguhan, dia akan terlahir sebagai orang yang dekat dengan Allah. Dan, kedekatan ini akan tertancap kuat dalam jiwanya sehingga dia bisa mengarungi kehidupan di luar bulan Ramadhan dalam kebaikan dan kejujuran.
LIMA RASA Buah dari Bulan Puasa
Tauhid Nur Azhar
Bulan Ramadhan telah berlalu. Haru biru perasaan hadir di dalam qalbu. Pada satu sisi kita layak bersedih karena bulan yang penuh rahmah dan berkah telah pergi meninggalkan kita. Namun, pada sisi lain, kita layak bersyukur karena Allah Ta’ala telah berkenan memilih kita untuk menikmati salah satu jamuan terbaik di dunia.
Bagaimana tidak, sebulan lamanya kita dikondisikan untuk menjadi sebaik-baik hamba, yaitu hamba yang senantiasa online dengan Rabbnya, dekat dengan sesamanya, dan baik terhadap dirinya sehingga para malaikat siang dan malam mendoakannya.
Rangkaian ibadah pada bulan Ramadhan, mulai dari shaumnya (termasuk aktivitas sahur dan bukanya), shalat fardhu berjamaah, shalat nawafilnya, terkhusus qiyam atau shalat malamnya, zikir dan doanya, infaq dan sedekahnya, yang dilakukan secara reguler dan rutin selama sebulan, disadari atau tidak telah mengoptimalkan peran “segumpal daging”, yaitu sebagaimana disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari, jika segumpal daging tersebut baik, baik pula segalanya dan jika buruk, buruk pula segalanya.
Dalam ijtihad penulis, segumpal daging tersebut adalah talamus, sebuah stasiun pemancar sinyal otak yang terletak di otak bagian tengah. Jika talamus telah terlatih dan terkendali, aksis atau sumbu HPA (hipotalamuspituitari-adrenalin) akan terlatih dengan baik juga.
Parameter yang dapat diamati adalah terkendalinya hormon pengatur kecemasan yang dinamakan kortisol. Jika kortisol berada dalam keadaan stabil, akan ada lima indikator ketakwaan yang akan muncul. Dan, kelima hal ini bisa kita rasakan pada saat Idul Fitri atau lebaran dan hari-hari sesudahnya. Apakah itu?
Pertama, hadirnya rasa tenang. Sensasi ini ditandai oleh seimbang dan optimalnya kadar serotonin dalam tubuh, dalam arti tidak kurang dan tidak juga lebih. Maka, Idul Fitri adalah hari kebahagiaan, hari bersuka cita, hari merayakan kemenangan setelah sebulan lamanya bergelut menundukkan tarikan nafsu.
Kedua, munculnya rasa senang. Sensasi ini diatur antara lain oleh kadar endorfin, yaitu suatu “morfin” otak yang berfungsi menghadirkan kegembiraan dan kebahagiaan.
Ketika seseorang optimal dalam ketaatan pada bulan Ramadhan, niscaya hatinya akan senang. Idul Fitri pun menjadi momen yang selalu dikenang. Bukan karena banyak makanan, banyak uang, atau tamu yang datang, akan tetapi lebih pada senangnya hati karena telah mampu memberikan persembahan terbaik kepada Allah.
Ketiga, menguatnya rasa mencintai sesama yang dimanifestasikan dalam keinginan untuk berbagi (sedekah). Sensasi ini diperankan oleh oksitosin. Hormon inilah yang mendominasi diri seorang hamba saat Idul Fitri. Kasih sayang kepada sesama membucah dalam hatinya sehingga dia rela memaafkan kesalahan saudaranya, mudah berbagi dan memberi, bukan hanya senyum ramah, tetapi juga materi.
Keempat, hadirnya rasa bugar, fit dan sehat. Sensasi ini diperankan salah satunya oleh vasopresin yang bertugas mengatur stabilitas cairan yang pada gilirannya juga akan memengaruhi kinerja jantung dan ginjal. Bukan rahasia lagi, kalau shaum Ramadhan membuat kita sehat dan bugar. Maka, badan terasa ringan, pikiran jernih, aneka keluhan hilang. Bukankah ini pula yang kita rasakan saat memasuki Lebaran?
Kelima, tumbuh suburnya rasa cinta yang ikhlas. Sebuah sensasi cinta hanya akan menempatkan Allah Ta’ala sebagai satu-satunya tujuan hidup, sandaran hati, tempat mengadu dan meminta. Orang yang sukses Ramadhannya, ketauhidannya akan semkain kokoh. Keyakinannya semakin mantap. Sehingga, saat memasuki 1 Syawal, keimanannya jauh lebih mantap daripada saat dia memasuki Ramadhan.
Namun, semua anugerah ini bisa hilang begitu saja apabila kita tidak menjaga dan merawatnya, atau merusaknya dengan melakukan aneka maksiat, kesi-siaan dan perbuatan yang melebihi batas.
Saat makan dan minum tidak lagi terjaga, saat shalat mulai ditunda-tunda, saat Al-Quran mulai dilupakan, saat sedekah tak lagi dipikirkan, boleh jadi saat itulah Allah Ta’ala mencabut nikmatnya ketaatan. Dominasi hormon-hormon ketenangan kembali diambil alih oleh hormon-hormon kecemasanan. Dan, saat kortisol dan kawan-kawannya menjadi penguasa, saat itulah hidup kita menjadi jauh dari bahagia. ***
Boleh Jadi, Mereka Lebih Bahagia
Tauhid Nur Azhar
Kerap kali, kita melihat ada orang yang hidupnya “tampak menderita”. Ada yang lumpuh tubuhnya, ada yang buta matanya, ada yang sakit berat dan tak kunjung sembuh, dan banyak lagi. Intinya dari kacamata psikologis yang subjektif, kita memandang mereka menderita karena tidak bisa hidup normal sebagaimana kita.
Namun, dari sudut pandang keilmuan yang lebih obektif sifatnya, benarkah persepsi kita selama ini?
Sesungguhnya, dalam Teori Psikologi Kontemporer, kita tidak berhak mengklaim tingkat kebahagiaan dan kepuasan hidup seseorang hanya dari kondisi fisik atau ekonomi. Boleh jadi, satu hal yang menurut kita mempersulit hidup mereka, justru menjadi ”sebuah karunia” bagi orang yang bersangkutan; sebuah karunia dari Allah Ta’ala yang telah menghindarkannya dari hal-hal yang tidak diinginkan, walau pada awalnya memang menyakitkan.
Kita seringkali keliru dalam melihat penderitaan orang lain. Kita memandang apa yang menimpanya sangat tragis. Padahal, menurut orang yang bersangkutan apa yang menimpa dirinya masih berada dalam batas-batas yang dapat ditoleransi.
Ketika melihat orang yang mengidap penyakit tertentu dan dokter telah memvonis kalau hidupnya hanya tinggal tiga bulan misalnya, kita langsung berpikir, “Kasihan ya, pasti dia sedih banget, tidak bisa tidur!” Kita berkata demikian karena kita mengalami suatu kondisi yang dinamakan resiprositas, di mana kita merasa bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi di lingkungan sekitar.
Bagi orang yang bersangkutan, beban terbesar adalah justru ketika orang lain melakukan proses comparation atau membanding-bandingkan. “Kalau saya mengalami hal itu, tidak mengapa. Tapi kalau kamu yang mengalaminya, waaaah kasihan bangeets!”
Justifikasi dari orang lain inilah yang memperberat dirinya. Maka, di sinilah arti penting dari tidak bolehnya mengklaim bahwa orang lain lebih susah dari diri kita sendiri. Hal ini sama artinya dengan berbicara dalam maqam yang berbeda, “Aku normal dan kamu tidak normal!”
Di dalam hidup ini, asas resiprositas memang penting. Betapa tidak, kita makhluk sosial yang pasti membutuhkan dan dibutuhkan orang lain, terlebih apabila kalau sedang berada dalam keadaan susah. Namun, hal yang seringkali terjadi adalah bahwa prinsip resiprositas yang kita berikan kepada orang lain, porsinya melebihi dari yang mereka butuhkan.
Seiring berlalunya waktu, seseorang yang mengalami musibah berat dalam hidupnya akan belajar untuk menerima kondisi dirinya. Mereka memiliki mission statement atau tujuan hidup yang jelas, yaitu menjalani hidup apa adanya. Kalau bermimpi menjadi seperti orang lain yang normal, toh kehidupannya sudah berjalan seperti itu.
Di sinilah kita tidak boleh mengganggu mission statement mereka. Biarlah mereka menjadi dirinya sendiri, jangan dikasihani, perlakukan mereka sebagaimana kita memperlakukan saudara-saudaranya yang normal. Anggaplah mereka bukan sebagai orang yang berbeda yang harsu dibeda-bedakan secara ekstrim. Sedekah kita bukan dengan memberikan uang, akan tetapi dengan menerima mereka apa adanya. Walaupun apabila secara finansial mereka memang harus ditolong, berikan uang secukupnya tanpa membuatnya merasa minder.
Saat dia mengkomparasikan dirinya dengan kita, jangan membuatnya merasa semakin kecil. “Wah, orang itu, sudah cakep, pintar, kaya, suka membantu. Apalah saya?” Kondisi mereka pun tidak harus diekspose sebagai orang menderita lagi susah yang harus ditolong. Bisa jadi dia malah berpikir, “Bukannya kamu yang harus ditolong. Dengan kesempurnaan yang kamu miliki, kamu berpeluang besar berbuat banyak dosa!”
Tugas kita adalah bagaimana caranya mengantarkan saudara-saudara kita tersebut agar dapat mensyukuri kekurangan dan kelebihan yang mereka miliki sehingga bisa tetap produktif dalam menyikapi hidup dan kehidupannya. Tidak sedikit orang yang tidak menyadari bahwa dirinya sebenarnya bisa berbahagia. Maka, tugas kita adalah membantu mereka untuk menyadari bahwa mereka sebenarnya berbahagia. ***
Buntut Sapi dan Tasbihnya Diri
Tauhid Nur Azhar
Kalaulah di dunia ini ada sesuatu yang tidak bisa dihitung dengan perangkat teknologi tercanggih, sesuatu itu pastilah nikmat dari Allah Ta’ala. Mengapa? Karena saking banyak dan melimpahnya. Maka, ada sebuah gambaran nan indah tentang kemahaluasan ilmu, kuasa, kasih sayang dan nikmat Allah Ta’ala di dunia yang tidak bisa diindra, dihitung atau diperkirakan oleh manusia.
Terungkap dalam Al-Quran, “Katakanlah, ‘Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)’.” (QS Al-Kahfi, 18:109)
Sungguh, Allah Ta’ala telah membentangkan rupa alam agar manusia paham bahwa begitu banyak nikmat yang terpendam diam menanti bak pucuk daun merindu mentari menyaput sisa malam. Mengapa kita tidak pandai bersyukur? Nikmat Tuhan mana lagi yang hendak kita dustakan dan ingkari?
Makan enak adalah ibadah. Tidur nyenyak adalah ibadah. Bernapas dengan riang adalah ibadah. Bahkan, tersenyum mendapatkan “buntut sapi” dari hewan kurban pun adalah ibadah. Kita tidak perlu menanti untuk bersyukur hanya pada saat kenikmatan dari Zat Yang Mahakuasa itu sebentar menepi.
Maka, saya ingin menjamu Anda, para kekasih Allah, dengan masakan yang akan menggelatarkan gema gustatoriamu, larut dalam desiran hati yang bertasbih dalam aura umami.
Mari kita menyusukuri “buntut sapi” dari jatah kurban yang kita miliki!
Sekadar informasi, buntut sapi ini fungsinya bukan hanya sekadar pengusir lalat, melainkan juga perpanjangan dari peran tulang belakang. Di kota Roma nun jauh di sana, masakan kelas bawah berbahan yang satu ini, dikenal dengan sebutan coda alla vaccinara. Dia dimasak dengan kuah saus tomat kental sarat kaldu.
Let me cook for your heart: at the end don’t forget to say alhamdulillâh.
Siapkan enam (6) potong buntut sapi pertengahan pangkal dan ujung yang di-slice dengan pemotong mesin, rebus dengan presto dan cukup bubuhi garam serta tumbukan kasar dua (2) siung bawang putih. Sekitar 30–45 menit angkat buntut dan tiriskan, simpan kaldu sisa presto.
Siapkan bumbu untuk menggoreng, rajang halus satu (1) siung bawang putih dan 1/4 buku jahe bersama satu (1) buah cabe rawit serta satu siung bawang merah yang ditumbuk halus. Kemudian, tumis dengan mentega. Pada saat bumbu sudah menguning, masukkan buntut dan goreng sampai kecokelatan, lalu angkat dan tiriskan.
Langkah berikutnya siapkan bahan pembuat saus. Jamur champignon delapan (8) buah atau bisa diganti jamur kancing van Lembang yang dicuci dan iris tipis, satu (1) siung bawang putih rajang halus ala Kanton, lalu setengah bawang Bombay iris cincin.
Panaskan mentega, tumis bawang putih dan jamur, sesaat kemudian masukkan bawang bombay, tambahkan lima (5) sendok makan kaldu sisa rebusan, masukkan tiga (3) sendok makan saus tomat manis pedas Del Monte, lalu tambahkan 1/8 sendok teh biji pala tumbuk dan 1/4 sendok teh lada hitam.
Jangan lupa masukkan pula 1/2 sendok makan kecap Inggris, satu (1) sendok makan saus tiram dan dua (2) sendok makan kecap sengli; selanjutnya, masukkanlah buntut dan aduk sampai merata. Lalu, hidangkan dengan taburan bawang goreng. Setelah itu, izinkanlah lidahmu untuk bertasbih, bertahmid, dan bertakbir memuji keagungan dan limpahan nikmat tak terperi dari-Nya! ***
Shalat sebagai ”Fun Edutainment” Terbaik
Tauhid Nur Azhar
Adakah pembelajaran terbaik yang bisa diberikan orangtua kepada anak-anaknya; pembelajaran yang bisa mengoptimalkan potensi lahir dan batinnya, menyehatkan jasmani dan ruhaninya, sekaligus mengoptimlkan kecerdasan intelektual dan menajarkan kecerdasan sosial, emosional dan spritualnya? Alhamdulillah, ternyata jawabannya adalah ADA.
Apaka itu? Jawabannya jauh-jauh hari sudah diajarkan oleh Rasulullah saw. kepada segenap umatnya. Itulah shalat yang lima waktu beserta shalat nawafil sebegai penyempurnanya.
Inilah pembelajaran terbaik yang bisa mengoptimalkan semua potensi yang ada dalam diri anak. Sehingga, para orangtua layak untuk mengenalkan dan mengajarkannya kepada anak sebelum mengenalkan dan mengajarkan keterampilan dan pengajaran yang lain.
Sesungguhnya, dalam ibadah shalat terintegrasi kecerdasan kognitif berupa pemahaman terhadap bacaan, kecerdasan emosional yang tercermin dari pengakumulasian konsentrasi dan rasa cinta (maujud dalam niat), serta kecerdasan motorik yang termanifestasi dalam aplikasi gerakan (berdiri-ruku-sujud, duduk di antara dua sujud-berdiri lagi-dan diakhiri dengan attahiyat beserta salam).
Artinya, apabila prosesi shalat dilaksanakan dengan benar dan dilandasi ilmu, kita akan mampu mengaktifkan kulit otak, sistem limbik, serebelum, dan juga basal ganglia, disertai peningkatan suplai oksigen dan optimalisasi metabolisme dalam jaringan otak.
Bahkan James Asher seorang pendidik dan pembelajar revolusioner, secara tidak sengaja membuktikan kedahsyatan shalat melalui metode belajar yang ia perkenalkan, yaitu total physical response (TPR). Dalam konsep TPR, Asher memiliki hipotesis unik yang menyatakan ”ajarilah tubuh dan tubuh akan belajar sama baiknya dengan pikiran.” Karena itu, Asher pun mengajarkan bahasa dengan peragaan gerakan, kata ”lutut” dipadankan dengan gerakan memegang lutut, demikian seterusnya.
Bukankah ketika shalat, kita pun telah mengintegrasikan proses-proses belajar serupa? Bahkan lebih dahsyat lagi, karena yang kita lafalkan secara mental adalah nilai-nilai kehidupan yang adiluhung dan berkualitas tinggi.
Dalam shalat, ada gerakan takbir yang diulang berpuluh-puluh kali. Secara neurologis, gerakan takbir ini akan menghubungkan kedua belah otak yang dijembatani oleh corpus calosum, sehingga keduanya menjadi aktif dan seimbang. Dengan demikian, gerakan takbir adalah sebentuk pembelajaran untuk melatih keseimbangan antara bagian kiri sebagai pusat analisis dan bagian kanan sebagai pusat estetika. Shalat adalah program pembelajaran di atas S3 yang kurikulumnya ditentukan dan diatur langsung oleh Allah Ta’ala.
Pada saat takbir, kita pun mengucapkan ungkapan pengagungan, Allâhu Akbar atau Allah Yang Mahabesar. Kita memaknainya sebagai sebuah hasil analisis, bahwa tidak ada yang lebih besar dan agung daripada Allah. Tidak ada yang lebih indah dan menarik selain Allah. Jika dilatih dan dihayati setiap hari, penyataan akan keagungan Allah ini akan melahirkan pribadi yang cerdas, mampu bekerja sama, tawadhu, tidak sombong, dan penyayang. Isi pikiran, hati, dan perbuatannya benar-benar dipandu. Allah Ta’ala yang menciptakan manusia, tentu Dia lebih tahu bagaimana mengelola dan mengoptimalkan kemampuan ciptaan-Nya itu.
Untuk meyakinkan bahwa shalat adalah sebuah proses latihan, lihatlah gambar berikut. Yang paling kanan diambil ketika seseorang selesai berwudhu, ketika berniat akan shalat. Warna merah dan kuning itu menandakan daerah yang aktif. Kemudian ketika mulai melapalkan (2 dan 3) tangan diangkat, lalu turun ke dada bersedekap.
Peta Otak Ketika Takbiratul Ihram
Ada bagian otak yang aktif ketika kita belajar, melihat, mendengar, dan memaknai sebuah simbol. Melihat simbol dan mendengarkan kata-kata itu berbeda. Yang paling aktif adalah yang berada di bagian depan, lobus frontalis. Ketika kita sujud, daerah yang paling cerdas diminta tunduk sehingga berada pada posisi yang paling rendah.
Inilah momentum di dalam shalat yang mengajarkan kita bahwa rasionalitas, kecerdasan, dan kehebatan manusia ada batasnya. Batasnya tidak bisa kita ukur, karena kita hanyalah salah satu bagian kecil di dalamnya.
Benarkah Sakaratul Maut Itu Menyakitkan?
Tauhid Nur Azhar
Ada satu hal yang sangat ditakuti kedatangannya oleh (kebanyakan) manusia. Apakah itu? Dialah kematian. Salah satu alasannya adalah karena mati itu sakit. Sakaratul maut, atau proses menuju kematian itu pedih rasanya, bahkan puncak kepedihan dan penderitaan fisik dan jiwa terjadi ketika sakaratul maut.
Benarkah demikian? Memang, sakaratul maut menandai peristiwa sakitnya kematian. Sakit yang ditimbulkannya amat dahsyat karena melibatkan dan mengaktifkan semua saraf rasa sakit yang ada di dalam tubuh.
Jangankan semua sel saraf, sebagian kecil saja terusik, semisal kaki tertusuk duri, sakitnya sudah bikin pusing, apalagi jika yang ditusuk duri adalah semua bagian tubuh kita. Ini pula yang Allah Ta’ala firmankan dalam Al-Quran surat Al-An’âm (6) ayat 93.
Dalam hadits disebutkan pula bahwa, “Kematian yang paling mudah,” sabda Nabi saw., “adalah serupa dengan sebatang pohon duri yang menancap pada selembar kain sutra. Apakah batang pohon duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain sutra yang terkoyak?” (HR Abid Dunya)
Gambaran akan sakitnya sakaratul maut boleh jadi pernah kita saksikan dalam kadar sebagai pengamat bukan sebagai pelaku. Ada orang yang kepayahan dan tersiksa, bahkan sampai berhari-hari lamanya. Nyawanya seakan tidak mau keluar dari raganya.
Namun demikian, dalam kasus lain ditemukan pula orang-orang yang sakaratul mautnya tampak sangat mudah, tenang, seakan tidak merasa sakit, seperti hendak pergi tidur saja layaknya. Dia seakan tidak merasakan apa-apa, bahkan seulas senyum tersungging dari bibir mereka.
Bagaimana menjelaskan fenomena ini?
Untuk hadirnya kematian, setidaknya ada dua persyaratan yang harus terpenuhi. Pertama, kematian itu disebabkan oleh kerusakan sebagian atau keseluruhan organ tubuh yang mengakibatkan tidak berfungsinya batang otak. Kedua, kematian disebabkan karena tubuh tidak mampu lagi untuk mengakomodasi kehadiran ruh.
Ketika organ tubuh sudah berkurang dari ambang batas mampu bekerja secara optimal, misalnya kerusakan organ ginjal atau ginjal kiri dan kanan sudah mencapai 90 persen, tubuh pun akan mengeluarkan respons peradangan yang sistemik dan menyeluruh, kemudian menghasilkan kematian jaringan yang meluas. Hal ini kemudian merangsang dan menimbulkan timbulnya zat kimia dari derivat (turunan) zat asam arakidonat (metanol arakidonat) yang menimbulkan kesakitan.
Contoh sederhananya adalah ketika kita jatuh dari tangga dan kaki kita lebam, saat itulah asam arakidonat akan bekerja dan rasa sakitnya akan terasa ke mana-mana. Dapat dibayangkan jika 90 persen tubuh kita mengalami luka seperti kaki yang memar ketika jatuh tersebut. Maka, suatu kematian yang melalui syarat 90 persen anggota tubuh tidak lagi mampu mengakomodasi hadirnya ruh, dia akan menghadirkan rasa sakit di luar ambang batas!
Namun demikian, Allah Mahakuasa untuk meringankan rasa sakit seorang hamba saat kematiannya. Seorang ulama mengatakan bahwa sakaratul maut itu aslinya adalah sakit. Namun ada faktor-faktor ekstern alias faktor luar yang bisa meringankan atau sebaliknya semakin memperberat sakitnya kematian. Amal saleh akan mampu meringankan beratnya sakaratul maut, sedangkan kemaksiatan akan semakin memperberat rasa sakitnya.
Diiris dengan pisau itu sakit, akan tetapi tidak akan terasa sakit apabila dibius terlebih dahulu. Sebaliknya, akan semakin pedih dan menyakitkan apabila luka irisan tersebut dikucuri cuka atau alkohol.
Adapun bentuk obat bius bagi sakaratul maut, yang menjadikannya tidak terasa sakit, adalah ditampakannya surga (dengan segala kenikmatannya) sebagai tempat pulang karena buah amal saleh yang diilakukannya ketika hidup. Sehingga, euforia kebahagiaan diri mampu meredam sakitnya sakatul maut.
Sebaliknya, cuka bagi sakaratul maut yang menjadikan rasa sakit berlipat-lipat kadarnya, adalah ditampakan neraka (dengan segala kengeriannya) sebagai tempat kepulangan sebagai buah dari kemaksiatan yang dilakukan ketika hidup. Allâhu a’lam.