Swadaya Collection Part 8

sendy ardiansyah
32 min readMar 13, 2024

--

Tauhid Nur Azhar

Photo by Trnava University on Unsplash

Cara Allah Ta’ala Melindungi Kita

Oleh Tauhid Nur Azhar

Pernahkah kita berpikir bagaimana seorang bayi yang lemah lagi tidak bisa apa-apa bisa tumbuh menjadi seorang anak yang lucu, kemudian tumbuh menjadi sosok dewasa yang kuat, dinamis, dan penuh vitalitas? Siapakah yang menjadikan dia seperti itu? Dirinyakah? Orang-orang di sekitarnya? Atau, siapa?

Tentu saja, tidak mungkin seorang bayi merah atau anak kecil bisa mengurus dirinya sendiri. Harus ada satu mekanisme agung yang menjadikan dia bisa bertahan hidup dan mengoptimalkan segala potensi yang ada dalam dirinya. Zat Penciptalah yang kuasa menciptakan mekanisme tersebut. Dia telah menanamkan rasa kasih dan sayang dalam diri orang-orang di sekitar si anak, terutama kasih sayang dari ibu dan bapaknya. Mereka adalah wakil Allah di muka bumi yang diberi amanah untuk memelihara dan mengasihi sosok manusia kecil nan lemah itu.

Sejatinya, Allah Azza wa Jalla telah “menyimpan” sedikit saja pancaran sifat Rahmân dan Rahîm-Nya di dalam hati seorang ibu. Namun, dengan “sepercik” kasih sayang itulah aneka keajaiban terjadi. Kisah-kisah heroik datang silih berganti. Seorang ibu rela bersusah payah selama sembilan bulan karena mengandung anaknya. Ia pun harus menanggung rasa sakit yang tidak terperi saat melahirkan, perjuangannya antara hidup dan mati (QS Luqman, 31:14).

Setelah itu, ibu pun dengan telaten merawat bayinya hingga tumbuh menjadi anak-anak, remaja, lalu dewasa. Rangkaian proses tersebut sangat berat untuk dijalani. Namun, apa yang terjadi? Senyum bahagia senantiasa tersungging dari bibir beliau. Mengapa? Sekali lagi, seorang ibu tidak mungkin bisa ridha menjalin proses seperti itu andaikan Yang Mahakuasa tidak memercikkan “sedikit saja” kasih sayang-Nya ke dalam hatinya.

***

Cukupkah sampai di sana? Oh, ternyata tidak. Kasih sayang ibu, bapak, termasuk pula kasih sayang dan perhatian orang-orang di sekitar kita hanya “secuil” saja dari pemeliharaan Tuhan kepada manusia. Ada berlapis-lapis pemeliharaan dari Allah untuk menjaga sesosok manusia — sebagai salah satu masterpiecenya di dunia — sehingga ia bisa bertahan hidup hingga waktu yang telah di tentukannya.

Salah satu perlindungan-Nya yang sangat menakjubkan adalah hadirnya sistem pertahanan tubuh dari unsur-unsur yang bisa merusak. Allah Swt telah menciptakan sebuah benteng yang sangat tanggung yang melindungi manusia dari aneka bahaya yang mengancam dirinya, walau sebagian dari kita seringkali tidak menyadarinya.

Sistem perlindungan tubuh ini (kita dapat menyebutnya sebagai sistem kekebalan tubuh atau sistem imun) memiliki cara kerja yang sangat cerdas. Ia mampu mengenali berbagai macam zat, entah itu zat yang baik maupun zat yang tidak baik bagi tubuh, sepanjang waktu tanpa pernah berhenti. Apabila tubuh kita diserang orang sesuatu yang tidak baik dan berpotensi merusak tubuh, sistem imun ini akan merekamnya, menganalisis, dan mengirimkan sinyal untuk membentuk dan membangun mekanisme perlawanan yang sangat canggih.

Sistem pertahanan tubuh kita bekerja bahu membahu dan tiada henti, tidak mengenal jam istirahat, tidak mengenal siang ataupun malam, tidur ataupun terjaga. Apabila satu unsur dari sistem imun ini tidak mampu menghadang serbuan musuh, ia akan langsung digantikan oleh unsur lain tanpa menunggu perintah.

Mereka akan mempertahankan tubuh kita secara berlapis-lapis, mulai dari sistem pertahanan paling depan atau paling luar, seperti air liur, air mata, bulu hidung, kulit, selaput lendir, dan lainnya sampai sistem imun yang paling spesifik yang terdapat di dalam sel-sel tubuh. Mereka bekerja tanpa lelah untuk mencegah masuknya invasi unsur asing ke dalam tubuh, mulai dari bahan-bahan dari luar semacam polutan, allergen, bakteri, virus, dan sebagainya, sampai gangguan yang muncul secara internal, seperti perubahan sel, sisa metabolisme, antibodi yang desersi, dan sebagainya.

***

Tidak terbayangkan apa yang terjadi pada tubuh manusia apabila sistem ini berhenti bekerja. Perlahan tapi pasti kita akan binasa. Mungkin Anda pernah mendengar kisah seorang bocah dari Texas, Amerika Serikat, yang sebelum lahir diketahui bahwa sistem kekebalan tubuhnya tidak sempurna? David, nama bocah ini, bermasalah pada sumsum tulang belakang sehingga tidak bisa memproduksi limfosit. Padahal, limfosit merupakan bagian dari prajurit siap tempur dalam mempertahankan tubuh terhadap berbagai serangan bakteri, virus, dan penyakit yang mencoba masuk ke dalam tubuh melalui makanan, saluran pernapasan, maupun lingkungan sekitar.

Tanpa adanya perlindungan dari sistem kekebalan tubuh — walau ia dilahirkan dengan operasi caesar yang steril, hidup dalam ruangan steril, menghirup udara steril, meminum air steril, dan memakan makanan yang steril — David hanya bertahan selama 12 tahun setelah gagal transplantasi sumsum tulang dari kakaknya. Ilustrasi tadi memperjelas peranan penting sistem kekebalan bagi daya tahan tubuh kita.

Para Pembaca yang budiman, dengan memahami bagaimana sistem pertahanan tubuh bekerja, kita bisa lebih paham tentang siapa diri kita dan siapa Tuhan yang telah menciptakan kita dengan semua keajaiban di dalamnya. Pemahaman ini, pada akhirnya, akan membawa kita menjadi hamba yang bersyukur.

Mempercantik DNA Diri

oleh Tauhid Nur Azhar

Tahukah Anda bahwa saat seseorang bersedih karena ada harapan yang tak sesuai dengan kenyataan, DNA dalam dirinya akan turut bersedih dan menyandikan hormon-hormon otak yang menimbulkan sensasi kepedihan? Tahukah Anda bahwa jika rasa sedih, marah, dan kecewa itu, apabila dibiarkan berlarut-larut, dia akan ”membajak” seisi pikiran? Hal ini ditandai dengan berkurangnya kemampuan otak untuk berpikir jernih dan menemukan solusi yang menyenangkan bagi semua pihak.

Sesungguhnya, 75 persen fungsi otak seorang manusia tidak dapat berjalan dengan semestinya ketika dia tengah berada dalam keadaan marah, sedih, dan kecewa secara berlebihan. Dan, tahukah Anda bahwa kondisi semacam ini apabila dipraktikkan, dia akan bersifat menetap dan menjadi pola syaraf (neuronal) permanen?

Otak manusia sejatinya terdiri dari bagian yang mewakili hawa nafsu, kecerdasan, penerima data (informasi), dan daerah yang mengintegrasikan ketiganya. Pada saat seseorang terjebak ke dalam kesedihan yang berkepanjangan, bagian otak yang aktif akan didominasi oleh otak pengatur hawa nafsu dan upaya mempertahankan diri. Karakteristik dari bagian otak ini adalah kemampuannya untuk menghasilkan respons emergensi yang bersifat cepat dan satu jalur.

Maka, apabila seseorang gagal memanajemeni (mengelola) kesedihan, kekecewaan, dan kemarahan yang tertanam di dalam dirinya, dia akan menjadi individu yang cenderung egois, egosentris (berorientasi pada diri sendiri), tergesa-gesa yang berakibat pada dalam pengambilan keputusan yang hanya berorientasi sesaat.

Saat sekarang buktinya teramat banyak. Lihatlah di sekitar kita, hutan-hutan gundul karena tebangi pepohonannya oleh orang-orang dan pembuat kebijakan yang tidak lagi berpikir panjang. Yang punya kedudukan dengan mudahnya mengambil apa yang bukan miliknya dengan jalan korupsi, kolusi dan nepotisme. Mengapa? Dia ingin mendapatkan untung dengan cara enteng. Dia ingin meraih sebanyak mungkin materi dan kenikmatan duniawi tanpa memikirkan akibatnya, baik di dunia maupun di akhirat. Demikian pula dengan seks bebas, narkoba, sampai gaya hidup instan yang merusak diri.

***

Pertanyaannya sekarang, bagaimana caranya agar DNA bisa menghantarkan kita menjadi pribadi smart lagi menarik? Seseorang menjadi menarik karena memiliki banyak penyebab, ada yang tergolong kecantikan endogen (datang dari dalam), dan kecantikan eksogen (terlihat di luar). Hal yang tergolong kecantikan dari dalam adalah sensasi psikologis yang ditimbulkan pada saat seseorang berinteraksi dengan orang lainnya. Sifat dasar ini dapat muncul apabila ada keseimbangan fisiologis antara otak, hormon, dan sistem tubuh lainnya.

Maka, seseorang yang berbahagia, mampu mensyukuri nikmat, dan sehat, dia akan menjadi pribadi yang amat menarik. Inilah yang tersirat dari firman Allah Ta’ala, ”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS Ibrahim, 14:7)

Ingatlah, DNA akan bekerja sesuai dengan pikiran. Bukankah dalam hadits qudsi disebutkan bahwa Allah itu sebagaimana prasangka hamba-hamba-Nya? Hal ini tercermin jelas dari DNA. Mengapa demikian? DNA kita ternyata akan bekerja persis seperti apa yang kita pikirkan. Padahal, di dalam DNA terdapat semua potensi ”sukses” dan ”gagal”-nya seorang manusia. Maka, ketika seseorang berpikir positif alias berhusnuzhan kepada Allah, DNA dalam dirinya akan memproduksi protein-protein yang tepat dan mendorong otak untuk membangun sirkuit-sirkuit cerdas yang membuat hidupnya menjadi jauh lebih bermakna dan berarti. Demikian pula sebaliknya.

Kabar baiknya, kita jangan khawatir. Apabila saat ini kita masih jauh dari bentuk ideal yang diharapkan, kita masih bisa berusaha untuk mengoptimalkan kinerja DNA yang kita miliki. Sesungguhnya, DNA dapat dioptimalkan dengan mengembangkan pola keyakinan dalam berikhtiar dan ikhlas dalam menyikapi hasilnya.

Lihatlah bakteri-bakteri kecil di sekitar kita yang mampu mensyukuri nikmat dengan mampu mengolah rezeki makanan dalam bentuk apapun. Bakteri E.colli namanya. Dia mampu mensyukuri nikmat dari Allah dengan mengubah pola DNA-nya untuk mengolah makanan yang didapatkannya, meskipun makanan itu berbeda dengan makanan pokoknya. Dia pun menjadi sosok yang smart karena mampu mensyukuri nikmat dari Allah dengan optimal, sesederhana apapun nikmat tersebut.

***

Ada satu kisah untuk menutup tulisan yang ngalor ngidul ini.

Beberapa tahun yang lalu, seorang teman bercerita dengan sedih. Dia mendapatkan rezeki berupa gelar juara dalam sebuah kompetisi, dan hadiahnya uang tunai sebesar 12 juta rupiah. Jumlah ini sangat besar waktu itu. Namun, sepulang dari ajang kompetisi ia terjatuh dari sepeda motor sehingga tulang kakinya patah. Lebih parah lagi, terlepas pula tempurung lututnya. Ia pun dioperasi dan dirawat di rumah sakit, perawatannya itu menelan biaya 7 juta rupiah.

Lalu, walaupun dia telah menyelesaikan program perawatannya, musibah tak kunjung berhenti mendatanginya. Kali ini dia bertandang dalam bentuk bergesernya spiral KB karena terjatuh dari sepeda motor itu. Dia pun hamil di luar kandungan yang sekali lagi menghantarkannya ke meja operasi! Kali ini habis biaya 5 juta. Maka, ludeslah semua hadiah juara kompetisinya.

Dengan sedih dia bertanya, ”Mengapa saya tidak bisa menikmati hasil jerih payah saya selama ini?”

Apa jawaban saya? Sederhana dan singkat saja, ”Mari kita bayangkan andai celaka dan operasi-operasi itu kita jalani tanpa bekal 12 juta?”

Setelah jatuh tertimpa tanggalah kita, sudah celaka berhutang pula! Kasih sayang Allah Ta’ala dengan demikian jangan hanya sekadar dimaknai dengan sesuatu hal yang mendatangkan nikmat semata. Kita pun dapat menerima dan mensyukurinya sebagai sebuah jalan yang menjamin terciptanya aneka solusi atas segala permasalah yang kita hadapi.

Manajemen Berbuka Puasa

oleh Tauhid Nur Azhar

”Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”

(QS Al-A’râf, 7:31)

Dari Sahal Ibnu Sa’ad bahwa Rasulullah saw. bersabda, ”Orang-orang akan tetap dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.”

(HR Muttafaqun Alaihi)

Bagi kebanyakan orang, tidak ada yang paling ditunggu saat bulan Ramadhan selain azan Maghrib. Setelah seharian menahan diri untuk tidak makan dan minum, orang-orang yang shauam diperbolehkan untuk berbuka. Pada saat itu, Allah Ta’ala memasukkan rasa bahagia ke dalam dada-dada mereka. Rasulullah saw bersabda, “Ada dua kegembiraan bagi orang berpuasa, kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika bertemu dengan Allah Swt.” (HR Muslim)

Berbuka adalah salah satu rangkaian penting dalam ibadah shaum. Karena itu, berbuka shaum bernilai ibadah. Karena dia wajib dan bernilai ibadah, ada adab-adab yang harus sangat diperhatikan oleh para shâimin agar kesakralan berbuka puasa tidak terkotori oleh belenggu nafsu.

Setidaknya ada tiga semangat yang harus tercermin saat kita berbuka.

Pertama, semangat untuk menjalankan ketaatan. Shaum melatih kita untuk taat dalam setiap keadaan, baik pada saat lapang, saat sempit, kala sendiri ataupun bersama-sama. Shaum melatih kita untuk muraqabah dan merasa ditatap dan diawasi Allah Ta’ala. Semangat ini harus menjadi motivasi berbuka sehingga berbuka bukan sekedar memenuhi keinginan perut dan nafsu, akan tetapi sebagai sebuah bentuk ketaatan kepada Zat Yang Mahakuasa.

Kedua, semangat pengendalian diri. Shaum melatih kita agar mampu mengontrol dan mengendalikan hawa nafsu. Dengan demikian, berbuka bukan sarana untuk memuaskan nafsu atau momentum balas dendam. Jika berbuka hanya digunakan untuk memperturutkan nafsu, proses pengendalian diri yang dilakukan hampir dua belas jam lamanya itu menjadi hancur berantakan dalam beberapa menit saja saat berbuka.

Ketiga, semangat menjaga kesehatan. Dilihat dari sudut kesehatan, inti shaum terletak pada pengaturan pola makan. Tubuh akan lebih sehat dan prima apabila pola makan kita sesuai dengan ritme kerja perut. Shaum membuat metabolisme tubuh bekerja sesuai aturan, mulai dari penggelontoran racun, peremajaan sel-sel, sampai penyeimbangan kembali sistem kerja tubuh.

Ketiga semangat ini harus terinternalisasikan dalam setiap aktivitas kita di bulan Ramadhan, khususnya pada saat berbuka puasa. Betapa tidak, capaian kebaikan dari shaum yang kita jalankan tidak akan optimal apabila kita tidak mampu menahan diri saat berbuka. Bukankah inti dari ibadah shaum adalah latihan penguasaan hawa nafsu?

***

Pertanyaan sekarang, berbuka yang baik itu seperti apa? Cara berbuka terbaik tentu saja adalah cara berbuka sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw. Beliau berbuka dengan ruthab atau air putih. Yang dimaksud ruthab adalah buah kurma yang matang di pohon dan baru dipetik sehingga banyak mengandung air. Kurma seperti ini sulit ditemukan di Indonesia. Kurma yang banyak tersedia di negara kita disebut thamr atau kurma kering. Karena ruthab tidak ada, kita bisa menggantinya dengan thamr. Kalau tidak ada thamr, kita bisa berbuka dengan mengonsumsi buah-buahan yang banyak mengandung air. Jadi, awali berbuka puasa dengan mengonsumsi buah-buahan segar.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah buah yang dipakai membatalkan shaum tersebut tidak tinggi energinya. Kita pun dianjurkan mengunyahnya dengan santai alias tidak terburu-buru. Tunjukkan bahwa kita masih mampu mengendalikan hawa nafsu.

Bagi mereka yang tidak mau menambah berat badan atau menurunkannya, awali buka shaum dengan buah-buahan yang mengandung banyak air. Kemudian minum, lalu shalat. Selesai shalat baru makan makanan berat. Ingat, harus ada tenggang waktu 10–15 menit antara ta’jil dengan makan berat.

Perhatikan pula kandungan gizi dari makanan yang kita konsumsi. Sebaiknya makanan kita lengkap dengan lauk pauk yang meliputi salah satu dari protein hewani, protein nabati, dan sayuran. Setelah itu, tidak makan lagi, cukup dengan minum air putih saja. Bagi yang tidak mau menurunkan berat badan, setelah makan bisa ngemil atau makan kolak dan sejenis. Namun ingatlah selalu, jangan makan berat lagi karena kita menghadapi waktu tidur.

Tidak masalah kita berbuka dengan makanan olahan yang manis-manis asalkan tidak berlebihan dan porsinya sedikit. Pola bukanya adalah diawali dengan minum air putih hangat, kolak, shalat dan makan nasi. Setelah makan boleh mengonsumsi cemilan dan sebagainya. Perlu kita ingat pula bahwa makanan olahan yang manis-manis berdampak pada tubuh vitalitas tubuh. Ketika makan yang manis-manis, kadar gula dalam tubuh naik dengan cepat, tetapi setelah naik, kadar gula turun dengan cepat pula. Ketika turun itulah kita merasa lesu, kemudian ngantuk.

Apa yang perlu dilakukan saat berbuka?

· Segerakan berbuka dengan kurma dalam jumlah ganjil, lalu minum air putih atau jus buah tanpa gula. Jangan pernah berbuka dengan air es atau soft drink karena dapat menggangu pencernaan dan memicu penyakit perut seperti maag. Setelah berbuka, lanjutkan dengan berdoa dengan doa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. lalu disambung dengan doa untuk hajat diri.

· Laksanakan shalat Maghrib dan shalat sunnat Rawatib.

· Jangan makan dan minum terlampau banyak sebab lambung yang sudah beristirahat sekitar 12 jam akan “kaget” sehingga kerjanya menjadi terlalu berat.

· Batasi konsumsi makanan dan minuman olahan. Makanan olahan akan lebih lama dicerna tubuh sehingga tidak tersisa cukup banyak energi untuk disimpan sebagai glikogen dalam tubuh kita. Hal ini menyebabkan badan menjadi lemas.

· Selepas shalat Tarawih, boleh saja menyantap 1–2 potong kue, buah-buahan atau minum jus buah segar dengan sedikit pemanis.

Apa yang perlu diketahui saat berbuka?

· Pertimbangkan kondisi saluran pencernaan yang sempat kosong selama 12–14 jam. Agar tidak sakit perut, cegah regangan lambung secara tiba-tiba. Bagaimana caranya? Minum yang cukup dan makan secara bertahap (awali dengan porsi kecil).

· Setelah berpuasa, cairan tubuh dan kadar gula darah akan menurun. Untuk menormalkannya kembali, awali berbuka dengan minuman serta makanan yang manis dan mudah dicerna atau mengandung karbohidrat sederhana. Misalnya, kurma, kolak, buah-buahan, atau 1–2 potong kue manis dari tepung beras.

· Agar kadar gula darah tidak meningkat secara tiba-tiba, jangan mengonsumsi makanan pembuka dalam jumlah banyak. Dianjurkan kalori makanan pembuka sekitar 10–15 persen dari kebutuhan kalori sehari.

· Jangan langsung minum air dingin atau es. Biasakan berbuka dengan minuman hangat. Perut yang kosong bisa menjadi kembung, apabila kita langsung isi dengan air dingin, karena asam lambung dalam tubuh kita akan terbentuk semakin banyak.

· Setelah tenggang waktu satu jam (setelah shalat Magrib), barulah perut kita diisi makanan dalam porsi penuh. Makanan yang dikonsumsi sebaiknya bervariasi agar semua zat-zat gizi dapat terpenuhi dengan komposisi seimbang. Buah dan sayuran sebagai sumber vitamin, mineral dan serat harus cukup jumlahnya.

· Cukup minum, takarannya sekitar 2 liter sehari (± 8 gelas).

Apa yang perlu kita batasi saat berbuka?

· Makanan yang mengandung bumbu yang terlalu merangsang, seperti cabe atau santan kental.

· Minuman dan makanan yang menimbulkan gas, semisal kol, lobak, nangka, ubi jalar dan minuman ringan (carbonated).

· Tape ketan, kopi, dan teh kental karena dapat merangsang pengeluaran asam lambung.

· Setelah shalat Isya dan Tarawih, kita boleh mengonsumsi makanan selingan dengan porsi seperti makanan pembuka.

· Sebelum tidur malam, makanan selingan bisa jadi pilihan konsumsi, misalnya kolak atau segelas jus buah.

Mempertahankan Pola Hidup Ramadhan di Luar Bulan Ramadhan

oleh Tauhid Nur Azhar

Tiada madrasah terbaik bagi diri seorang Muslim selain madrasah Ramadhan. Dengan segala pernak pernik ibadah dan tata aturannya, bulan Ramadhan menjadi program pendidikan, pelatihan dan kerja praktik terhebat, yang dirancang langsung oleh Zat Yang Mahakuasa lewat perantaraan Nabi-Nya. Untuk apa? Mengoptimalkan semua potensi diri seorang hamba demi mencapai kedudukan tinggi di hadapan Rabbnya.

Maka, tidak berlebihan jika bulan Ramadhan, dengan shaum dan qiyam Ramadhannya, diibaratkan sebuah mesin proses nan canggih. Kehadiran mesin ini memungkinkan manusia untuk melakukan perbaikan diri secara paripurna dan menyeluruh. Bagaimana tidak, pada bulan Ramadhanlah kita diberi kesempatan seluas-luasnya dan sepuas-puasnya untuk melatih diri, mengoptimalkan, dan menyeimbangkan potensi fisik dan ruhiyah.

Siapa yang berhasil mengoptimalkan bulan Ramadhan, dapat dipastikan dia akan menjadi sosok yang lebih baik dari sebelumnya, lebih meningkat kualitas dirinya, dan lebih mulia kedudukannya di hadapan Zat Yang Mahakuasa.

Ukuran Keberhasilan Bulan Ramadhan

Pertanyaannya, adakah parameter atau tolok ukur keberhasilan dari optimalisasi bulan Ramadhan yang bisa diindrai dan dirasakan? Tentu saja ada. Hanya saya, tolok ukur keberhasilan tersebut tidak bisa dilihat hanya dari satu segi, semisal dari fisiknya saja yang ditandai dengan turunnya berat badan. Parameter keberhasilan shaum seseorang harus ditinjau dari berbagai aspek pengamatan.

Satu hal yang paling mudah diukur adalah perilaku dan gaya hidup. Pola shaum dan pola hidup — seperti tidur bangun dan porsi makan — selama Ramadhan adalah pola hidup paling tepat. Pola tersebut akan mengembalikan fitrah kita sebagai manusia.

Maka, setelah bulan Ramadhan usai, yaitu sejak masuknya tanggal 1 Syawal, seharusnya kita sudah terlatih dalam mengatur ritme kehidupan. Dengan berpuasa satu bulan, dalam tubuh kita telah terjadi proses penyesuaian bioritme.

Kebiasaan bangun pada sepertiga malam terakhir beserta proses pengendalian hawa nafsu sepanjang hari misalnya, sangat efektif untuk melahirkan jiwa-jiwa yang tenang (muthma’innah). Artinya orang yang shaumnya benar akan mendapatkan ketenangan hati dan kejernihan pikiran. Tenangnya hati dan jernihnya pikiran akan meningkatkan sistem imun tubuh sehingga tubuh lebih kebal terhadap penyakit.

Pola makan kita pun sudah sesuai dengan pola makan pada saat bulan Ramadhan. Kebutuhan kalori, protein, lemak, maupun mineral dan vitamin sudah terpenuhi tanpa harus mengkonsumsi bahan makanan secara berlebihan. Dalam proses sahur dan berbuka sejatinya telah tergambar dengan jelas tentang bagaimana tata cara pemenuhan kebutuhan nutrisi harian kita yang sebenarnya.

Maka, orang yang sukses Ramadhannya, saat Lebaran tiba, pola makannya tetap terjaga. Walaupun di hadapannya tersedia beragam jenis makanan yang “bebas dikonsumsi kapan saja” tanpa harus menunggu azan Maghrib, dia tetap mampu mengendalikan diri. Saat makan dia tidak berlebihan, secukupnya, tidak sampai kekenyangan. Apa yang dimakannya pun selektif. Dia hanya memakan yang baik-baik lagi dibutuhkan tubuh. Adapun yang kurang sukses ibadah Ramadhannya, pola hidup pada bulan Ramadhan langsung menguap seiring bergantinya bulan. ***

Tips Mempertahankan Pola Makan Sehat Saat Lebaran

· Awali hari dengan mengonsumsi kurma. Sebelum pergi ke tempat shalat Id, kita dapat mengonsumsi kurma dalam jumlah ganjil dan segelas air putih hangat. Kandungan glukosa dan bahan-bahan penyusunnya yang mudah dicerna, menjadikan kurma sebagai makanan penghasil energi yang cepat bagi tubuh.

· Sepulang dari shalat Id, pastikan kita tidak makan berlebihan atau makan sampai kenyang. Akan sangat bijak apabila makanan kita pada hari Lebaran diawali dengan porsi-porsi kecil dan tidak sering. Hal ini untuk mengondisikan tubuh agar tidak ”kaget” dan bisa beradaptasi dengan pola makan di luar Ramadhan.

· Batasi diri dari mengonsumsi makanan dan minuman olahan yang memiliki banyak pengawet dan tinggi kadar gulanya. Makanan olahan akan lebih lama dicerna tubuh sehingga tidak tersisa cukup banyak energi untuk disimpan sebagai glikogen. Hal ini menyebabkan badan menjadi lemas.

· Batasi diri dari mengonsumsi makanan yang mengandung bumbu yang terlalu merangsang, seperti cabe atau santan kental. Kemudian, dari minuman dan makanan yang menimbulkan gas, semisal kol, lobak, nangka, ubi jalar dan minuman ringan (carbonated). Juga dari tape ketan, kopi, dan teh kental karena dapat merangsang pengeluaran asam lambung.

· Pada saat bersamaan, perbanyak mengonsumsi sayur dan buah-buahan, atau makanan segar dan alami, plus air putih hangat (setidaknya 2 liter perhari).

· Apabila ada pilihan, lebih baik mengonsumsi ikan daripada daging merah. Daging ikan selain lebih kaya akan nutrisi yang diperlukan tubuh, juga lebih mudah dicerna. Hal ini akan sangat memudahkan lagi meringankan kerja sistem pencernaan.

· Kunci dari semua itu, amalkanlah sunnah Rasulullah saw. dalam hal makan. Tidak hanya untuk hari Lebaran, akan tetapi keseluruhan hari setelah Lebaran, mulai dari motivasi makan, cara atau adab-adab makan, waktu makan, dan jenis makanan yang dikonsumsi. Dengan mengamalkan sunnah Rasulullah saw. bukan hanya sehat yang didapat tetapi juga pahala yang berlipat. In syâ Allah.

Kuasa Ilahi dalam Air Hujan

oleh Tauhid Nur Azhar

Hujan, siapa yang tidak kenal dengannya? Inilah salah satu fenomena alam yang menunjukan keagungan kuasa Allah Ta’ala. Ada banyak tanda kuasa Allah di dalamnya yang bisa menguatkan kualitas keimanan diri.

Lalu apa itu hujan? Hujan adalah proses kondensasi uap air di atmosfer menjadi butir air yang cukup berat untuk jatuh dan biasanya tiba di daratan. Dalam ilmu fiqih air hujan itu termasuk air muthlaq. Maksudnya, air muthlaq adalah air yang tetap seperti kondisi asalnya. Air muthlaq ini biasa disebut pula air thahur (suci dan mensucikan). Dengan demikian, air hujan memiliki sifat suci lagi menyucikan. Ia dikatakan suci dan murni zatnya karena belum tercampur dengan zat-zat lain yang akan mengubah komposisi dan ”rasa” yang dimilikinya. Ia dikatakan menyucikan karena memiliki kemampuan untuk menghilangkan kotoran dan mensterilkan media yang dialirinya.

Kemampuan air hujan dalam membersihkan kotoran pada kulit manusia melebihi air jenis lainnya sehingga air hujan dianggap sebagai salah satu disinfektan terbaik. Kemampuan air hujan dalam memperbaharui sel-sel yang ada dalam tubuh pun berada pada skala yang lebih besar dibandingkan dengan air biasa. Air hujan yang belum tercemar, misalnya hujan asam, dijamin terbebas pula dari virus dan bakteri patogen.

Dengan melihat sifat-sifat dan keutamaannya, tidak mengherankan apabila air hujan dapat menimbulkan efek positif bagi psikologis dan kejiwaan manusia, termasuk menghilangkan badmood, rasa malas dan menggantinya dengan kesegaran, optimisme, dan semangat baru.

Al-Quran menginformasikan, ”(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan setan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki-(mu).” (QS Al-Anfâl, 8:11)

Pada kenyataannya, air hujan tidak sekadar membersihkan dan menjadi antiseptik bagi manusia, tetapi juga antiseptik bagi lapisan atmosfer. Hal ini terjadi karena air hujan memiliki kemampuan luar biasa dalam menyerap logam, gas, aneka partikel debu, dan beragam substansi dalam jumlah besar yang berada di lapisan atmosfer. Oleh karena itu, turunnya hujan dengan kapasitasnya yang senantiasa terukur merupakan mekanisme alam yang sangat canggih dalam membangun kesetimbangan baru di lapisan atmosfer dengan ”melarutkan” beragam materi yang dapat mengganggu keseimbangan alam.

Mahabenar Allah Azza wa Jalla dengan firman-Nya, di mana Dia menyebut air hujan sebagai mâ’an thahurâ alias air yang amat bersih lagi murni yang diturunkan langsung dari langit. Kata thahurâ itu sendiri salah satu maknanya adalah ”penghapusan kotoran”. ”Dialah (Allah) yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit (mâan thahurâ) air yang amat bersih (air murni).” (QS Al-Furqân, 25:48)

Melihat kenyataan ini, para orangtua tidak perlu ”mengharamkan” anaknya untuk hujan-hujanan. Kita pun tidak perlu ragu menjadikannya sebagai media bersuci, khususnya berwudhu. Tentu saja dengan syarat:

1. Jika air tersebut tercampur dengan benda suci dan jumlahnya sedikit, sehingga air tersebut tidak berubah apa-apa dan masih tetap disebut air (air muthlaq), maka ia boleh digunakan untuk berwudhu. Misalnya, air dalam bak yang berukuran 300 liter kemasukan sabun yang hanya seukuran 2 mm, tentu saja air tersebut tidak berubah dan boleh digunakan untuk berwudhu.

2. Jika air tersebut tercampur dengan benda suci sehingga air tersebut tidak lagi disebut air (air muthlaq), akan tetapi ada “embel-embel” (seperti jika tercampur sabun, disebut air sabun atau tercampur teh, disebut air teh), air seperti ini tidak disebut dengan air muthlaq sehingga tidak boleh digunakan untuk bersuci (berwudhu atau mandi).

Boleh jadi ada yang bertanya, bisakah air hujan dijadikan obat?

Sementara orang percaya bahwa air hujan dapat digunakan sebagai obat. Hal ini tidak salah karena ait hujan merupakan air jernih dan relatif bersih serta mengandung oksigen dalam kadar tinggi. Namun sampai saat ini belum ada penelitian resmi yang menyatakan bahwa air hujan dapat digunakan sebagai obat.

Akan tetapi, seiring dengan kemajuan zaman, di mana terdapat banyak polutan seperti asap kendaraan bermotor, asap pabrik, pembakaran, dan sebagainya mempengaruhi terhadap kandungan dan kadar zat-zat yang terdapat dalam air hujan tersebut sehingga air hujan sudah dapat sudah tidak efektif lagi untuk dikonsumsi.

Kadar dan kandungan zat yang terdapat di dalam air hujan itu sendiri akan berbeda di tiap daerah, sebagai contoh di Jakarta dan Bandung akan sangat berbeda kandungan di dalam air hujannya tersebut.

Walau demikian, air hujan tetap memiliki segudang kebaikan, termasuk dalam pengobatan fisik maupun psikologis, sebagaimana terungkap dalam QS Al-Anfâl ayat 11 di atas. Maka, menikmati rinai hujan yang menerpa tanah kering di halaman misalnya, selain memberikan sensasi kesejukan, dan meruapnya aroma tanah yang basah, ternyata juga menjadi penghantar bagi serombongan mikroba atau jasad renik bernama Mycobacterium vaccae untuk terhirup ke dalam paru-paru manusia.

Kedatangan mereka di paru-paru manusia adalah sebuah persinggahan untuk selanjutnya melanjutkan proses berkelana di sekujur tubuh manusia melalui serangkaian pembuluh darah. Pada saat mereka sampai ke jaringan otak manusia. Mereka akan bersatu dengan reseptor-reseptor molekuler di permukaan sel-sel yang bertugas memproduksi serotonin. Hormon tenang. Reseptor itu membawa pesan transduksi kepada untaian rantai ganda DNA. Maka, terjadilah proses transkripsi untuk menyandi serangkaian nukleotida yang jika di”masak” akan menghasilkan serotonin.

Kehadiran serotonin akan menghasilkan kedamaian dan ketenangan yang menyejukkan pikiran. Ketenangan pada akhirnya akan memfasilitasi otak untuk berpikir jernih serta mampu mengurai dan menganalisis berbagai tantangan kognitif. Rinai hujan yang membuncah serta memecah kegersangan hari, juga akan menyuburkan kecerdasan dan kemampuan menyelesaikan permasalahan. ***

Pesan Ilahi dalam Ibadah Haji

oleh Tauhid Nur Azhar

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”

(QS Ali Imrân, 3:97)

Ibadah haji adalah perjalanan seorang Muslim untuk memenuhi panggilan suci, meninggalkan segala urusan dunia demi melepas rindu bertemu Sang Kekasih. Perjalanan menuju Kabah adalah simbol “akhir” perjalanan. Ia adalah titik asal semua ciptaan Allah. Kabah adalah harapan dan cinta yang senantiasa dirindukan oleh orang-orang beriman. Jalaluddin Rumi mengungkapkan bahwa Kabah yang fisiknya ada di Makkah, hakikatnya adalah perpanjangan dari Kabah yang berada di dalam hati manusia.

Itulah mengapa, setiap hamba yang beriman pasti merindukan matanya menatap langsung Baitullah, merindukan dahinya bisa sujud bersimpuh di Masjidil Haram, merindukan berlinangnya air mata dalam munajat dan doa di Multazam, merindukan kehadiran dirinya di samping makam Rasulullah saw. dan merindukan dirinya menjadi haji yang mabrur.

Ibadah haji adalah ritual yang kaya perlambang. Apa yang dikerjakan dalam ibadah haji adalah cuplikan atau nukilan dari hidup manusia dalam model ideal. Kita ambil contoh prosesi ihram. Pakaiannya yang bersahaja adalah de-atributisasi yang akan menggerus kerak munafik dari area amigdala dan memori korteks di otak. Menanggalkan pakaian yang biasa dipakai digantikan dengan hanya dua helai kain putih (kain ihram) merupakan simbol kuat kepasrahan dan penghilangan egosentrisme.

Pakaian ihram melambangkan pelepasan semua sifat buruk dalam diri, yaitu sifat serigala (kekejaman dan penindasan), tikus (kelicikan), anjing (tipu daya), dan kambing (penghambaan kepada selain Allah). Berihram, dengan demikian, adalah ikhtiar simbolik untuk meluruskan motivasi dengan membersihkan segala bentuk pikiran, perasaan dan tindakan.

Maka, seorang yang berhaji dituntut untuk mampu menghilangkan semua sifat buruk tersebut dalam dirinya. Kain ihram pun melambangkan hakikat kesetaraan umat manusia. Karena pakaian itu memang disyariatkan sama. Pakaian yang seakan membisikkan suara Yang Mahakuasa: “mulailah dengan niat yang sungguh-sungguh untuk melengkapi kewajiban demi kewajiban”.

Gerakan tawaf adalah perpetual motion yang akan melatih ganglia basalis, cerebelum, dan keseimbangan auditorik melalui vestibuler untuk senantiasa seirama dan harmoni dengan tawafnya semesta. Di sinilah kita kembali kepada fitrah. Artinya, orang yang tawaf hakikatnya tengah menanamkan kesadaran akan kehadiran Allah dalam hatinya. Apabila nama Allah sudah tertanam di dalam hati, seorang Mukmin akan selalu merasakan kehadiran-Nya di mana pun dan kapan pun. Tertanamnya asma’ Allah dalam qalbu adalah fitrah dari setiap manusia.

Mabit di Mina adalah upaya konkret dan konstruktif untuk mereka ulang alur memori, mengingat, dan memperbaiki kesalahan amigdala, kemudian mentransfer dan mengkonversinya dalam bentuk semangat baru yang bersifat reformatif dan restoratif di hipokampus. Inilah yang kemudian mendorong produksi dopamin dan serotonin di nukleus seruleus.

Maka, mari kita buka hari yang baru dengan semangat baru, yaitu ”semangat fitriah”, begitulah intinya. Terbukanya akses dopamin dan serotonin pada gilirannya akan mengefektifkan fungsi dari korteks pra-orbital dan korteks prefrontal.

Demikian juga proses utama dalam haji, yaitu wukuf. Prosesi wukuf merupakan sebuah upaya unggulan yang mampu membangkitkan kesadaran perseptual yang melibatkan sistem limbik, hipokampus dan neokorteks di area frontal, parietal, dan temporal. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa kejujuran yang disertai kepasrahan dan penyesalan. Bahasa ini akan sanggup men-delete dan mengosongkan recycle bin dosa di amigdala dan memori kesalahan serta penyesalan di korteks otak. Inilah yang akan menjernihkan pusat asosiasi visual, dengar, dan koordinasi gerak. Wukuf dengan demikian akan mampu menyempurnakan kesejatian manusia.

Dalam perspektif sosial, haji merupakan momen pertemuan akbar bagi umat Islam seluruh dunia. Allah Ta’ala mengumpulkan para hamba-Nya yang beriman pada waktu dan tempat yang sama. Dari pertemuan akbar tersebut terjalinlah suatu interaksi, kedekatan, dan saling merasakan antara satu sama lain. Hal ini membuahkan kuatnya tali persatuan umat Islam dan terwujudnya kemanfaatan bagi urusan agama dan dunia mereka.

Seseorang yang berupaya menggali rahasia di balik ibadah haji, dia akan memperoleh banyak pelajaran penting, baik yang berkaitan dengan keimanan, ibadah, muamalah, dan akhlak yang mulia. Di antara pelajaran tersebut antara lain:

· Perwujudan tauhid yang murni dari noda-noda kesyirikan dalam hati sanubari, ketika para jamaah haji bertalbiyah.

· Pendidikan hati untuk senantiasa khusyuk, tawadhu dan penghambaan diri kepada Rabbul ‘Alamin, ketika melakukan tawaf, wukuf di Arafah, dan amalan haji lainnya.

· Pembersihan jiwa untuk senantiasa ikhlas dan bersyukur kepada Allah Ta’ala ketika menyembelih hewan kurban pada hari-hari haji.

· Ketulusan dalam menerima bimbingan Rasulullah saw. tanpa diiringi rasa berat hati, ketika mencium Hajar Aswad dan mengusap Rukun Yamani.

· Tumbuhnya kebersamaan hati dan jiwa ketika berada di tengah-tengah saudara-saudara seiman dari seluruh penjuru dunia, dengan pakaian yang sama, berada di tempat yang sama, dan menunaikan amalan yang sama pula. ***

Sehat dengan Mengoptimalkan Fungsi Enzim

oleh Tauhid Nur Azhar

Ada banyak tanda kuasa Allah Ta’ala di dalam tubuh kita. Satu di antaranya adalah enzim. Siapakah dia? Enzim adalah biomolekul yang mengkatalis semua reaksi kimia di dalam tubuh. Kehadirannya memastikan semua proses metabolisme tubuh berjalan dengan baik, mulai dari proses sintesis dan penguraian, transportasi, ekskresi, detoksifikasi, penyediaan energi, regenerasi sel, dan lainnya.

Ini artinya, tanpa kehadiran enzim, manusia akan mati. Tanpa kehadiran enzim, satu reaksi kimia di dalam tubuh, yang paling sederhana sekalipun, bisa membutuhkan waktu ratusan tahun. Tanpa kehadiran anzim, proses kimiawi yang dilakukan oleh sel dalam beberapa detik bisa berlangsung ribuan tahun.

Maka, dengan kuasa-Nya, Allah Ta’ala menghadirkan enzim untuk mempercepat reaksi kimiawi di dalam tubuh dengan kecepatan yang teramat menakjubkan. Reaksi yang membutuhkan waktu ratusan bahkan ribuan tahun, dipercepat oleh enzim, bukan lagi dalam hitungan jam atau menit, akan tetapi milidetik.

Tanpa adanya kecepatan ini, aktivitas sederhana, semisal mengedap ngedipkan mata selama beberapa detik, harus membutuhkan waktu sekitar 1500 tahun!

Contoh lainnya, dalam proses pembentukan urea di dalam tubuh. Proses ini membutuhkan suhu ratusan derajat Celcius dengan katalisator logam sehingga tidak mungkin terjadi di dalam suhu tubuh fisiologis manusia, yaitu sekitar 37° Celcius. Dengan adanya enzim, sebagai katalisator biologis, reaksi-reaksi tersebut bisa berjalan dalam suhu fisiologis tubuh manusia. Enzim berperan dalam menurunkan energi aktivasi menjadi lebih rendah dari yang semestinya dicapai dengan pemberian panas dari luar.

Singkat kata, dengan hadirnya enzim, proses metabolisme di dalam tubuh dapat berlangsung dengan lebih cepat dan hemat energi sehingga dapat menopang kehidupan secara optimal.

Optimalisasi Enzim dengan Pola Makan yang Tepat

Melihat fungsi dan nilainya tersebut, kualitas enzim berperan penting bagi kesehatan manusia. Seseorang akan sehat apabila enzim yang ada dalam tubuhnya berfungsi optimal. Lebih khusus lagi, kesehatan seseorang bergantung pada sebaik apa dia menghemat penggunaan enzim.

Sejumlah kebiasaan buruk, semacam mengkonsumsi zat adiktif, pewarna buatan, rokok, pengawet, atau minuman beralkohol, akan mengganggu optimalisasi kinerja enzim. Konsumsi alkohol misalnya, akan menyebabkan terjadinya ”pemborosan” enzim. Ketika seseorang mengonsumsi minuman beralkohol, cadangan enzim akan dikerahkan untuk mengurai alkohol tersebut di dalam hati, termasuk sejumlah enzim pangkal, yang pada akhirnya akan mengganggu proses penyerapan.

Oleh karena itu, banyak mengkonsumsi buah-buahan yang segar, madu, dan sayur-sayuran adalah pilihan bijak. Mengapa? Bahan-bahan makanan tersebut mudah dicerna dan kaya nutrisi yang diperlukan tubuh. Asupan dari makanan hewani pun sangat kita perlukan sebagai asupan bagi pembentukan enzim di dalam tubuh. Namun perlu diingat, agar enzim dari makanan hewani tersebut dalam optimal kita jangan memasaknya terlalu matang karena enzim yang dikandungnya menjadi rusak.

Optimalisasi Enzim dengan Proses Pengunyahan yang Cukup

Jangan sepelekan proses mengunyah makanan, terkhusus ”makanan berat”. Proses pengunyahan yang optimal akan menjadikan makanan tercampur dengan enzim yang ada di ludah. Hal ini pada gilirannya akan mengurangi beban kerja lambung sehingga tidak terlalu berat.

Namun sebaliknya, makan yang tergesa-gesa, yang berakibat pada terlalu cepatnya dan minimnya proses pengunyahan, akan membuat enzim tidak bekerja optimal sehingga dapat mendatangkan aneka penyakit, terlepas dari bergizi tidaknya makanan yang dikonsumsi tersebut.

Secara spesifik, proses makan yang terlalu cepat dan pengunyahan yang terlalu minim, apalagi jika suapannya terlalu besar, akan melahirkan sejumlah efek negatif yang berkaitan erat dengan enzim. Salah satunya adalah terganggunya proses pencernaan.

Kita sudah memahami bahwa proses makan mirip dengan pengolahan bahan baku di sebuah pabrik. Ada tahap-tahap yang harus kita lewati, di mana setiap tahap memiliki prosedur-prosedur baku, mulai dari pemilihan bahan baku hingga pengemasan hasil produksi. Pelanggaran prosedur dari satu tahap pada gilirannya akan memengaruhi tahap-tahap selanjutnya.

Ketika kita makan dengan tergesa-gesa, proses pengunyahan dan reaksi enzim pencernaan tidak akan berjalan optimal. Kondisi ini menimbulkan beban pada lini produksi berikutnya. Lambung akan bekerja keras untuk menerima makanan yang tidak dikunyah dengan sempurna. Hal ini akan merangsang produksi asam lambung yang berlebih. Jika berlangsung dalam jangka waktu lama, lambung akan mengalami kerusakan dan kerja usus menjadi terganggu. Enzim dan penyerapan pun tidak akan berfungsi efektif.

Efek selanjutnya adalah terjadi kelebihan lemak, meningkatnya kadar kolesterol, dan sebagainya, aneka penyakit generatif pun seperti jantung, kanker, hipertensi, diabetes, dan kawan-kawannya akan betah berada dalam tubuh.

Oleh karena itu, Rasulullah saw menganjurkan kita untuk menyedikitkan makan dan kalau pun makan diperintahkan untuk teratur dan tidak tergesa-gesa. “Tidak ada satu tempat pun yang dipenuhi Anak Adam yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah bagi ia beberapa suap makanan saja, asal dapat menegakkan tulang rusuknya.” (HR Ahmad dan Tirmidzi)

Rasulullah saw pun mengistilahkan proses makan yang baik sebagai ”makan dengan tiga jari”. Apa maknanya? Dilihat dari aspek proporsi atau ukuran, makan menggunakan tiga jari terkait erat dengan proporsi. Artinya, segala sesuatu sudah ada ukurannya. Rongga mulut memiliki ukuran khusus. Lambung memiliki ukuran khusus. Usus pun memiliki ukuran khusus. Intinya, semua organ pencernaan dalam tubuh kita memiliki ukuran khusus. Ketika organ-organ tersebut harus mengolah sesuatu melebihi kapasitasnya, pasti akan timbul masalah. Boleh jadi lambung dan usus akan kepayahan dan rusak.

Mengapa harus tiga jari? Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya menyukai yang ganjil. Tentu ada alasannya. Angka ganjil itu — satu, tiga, lima, tujuh, dan seterusnya — menggambarkan pengulangan dari proporsi atau ukuran-ukuran sistem biologis dalam tubuh. Makan satu bagian dengan dua bagian berbeda. Makan dua bagian dengan tiga bagian pun berbeda.

Ketika kita makan dengan hitungan ganjil, produksi enzim dalam pencernaan pun akan menjadi optimal. Sebagai contoh, kita mengonsumsi satu gram zat X, maka enzim yang keluar akan setara dengan satu gram zat X. Berbeda dengan dua gram zat X, enzim yang diproduksi hanya satu setengah. Namun ketika kita mengonsumsi tiga gram zat X, enzim yang diproduksi pun akan setara dengan tiga gram zat X.

Mengapa yang dua terlewat? Untuk menjawabnya kita bisa melihat kurva dalam matematika. Sebuah kurva tidak bisa naik secara langsung. Perlu ada proses akselerasi, sehingga kelengkungannya membentuk dinding lereng. Angka dua beserta kelipatannya akan terletak di punggung. Sedangkan satu, tiga dan kelipatannya selalu berada di puncak. Jadi, bilangan ganjil menggambarkan optimalisasi sebuah proses.

Keterangan Gambar:

Substrat: Senyawa yang mengalami perubahan oleh hasil kerja enzim

(zat yang diubah oleh enzim)

Selain itu, apabila kita lihat dari aspek kinerja sistem biologis, bilangan tiga sesuai dengan volume sehingga makanan yang masuk akan diproses secara optimal. Karena ukurannya tepat, jumlah enzim yang diproduksi pun akan tepat dan sesuai dengan lingkar usus. Akibatnya proses pemerasan sari-sari makanan menggunakan gerakan peristaltik menjadi lebih optimal. Tubuh pun bisa mendapatkan unsur-unsur terbaik dari makanan yang masuk. ***

Berdamai dengan Sakit

oleh Tauhid Nur Azhar

Sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa yang paling mampu menyembuhkan sakit kita, atas izin dan ketentuan Allah Azza wa Jalla, adalah diri kita sendiri (self cure atau self healing). Adapun yang paling membantu proses penyembuhan dalam diri tersebut adalah pikiran kita.

Sesungguhnya, pikiran itu bisa menimbulkan efek berlainan pada kesehatan tubuh. Pikiran yang tidak dimenej dengan baik bisa mengakibatkan kita sakit keras. Ketika kita stres misalnya karena seabreg masalah, tubuh kita akan memproduksi sejumlah hormon, seperti enkefalin, kortisol, dan sebagainya. Zat-zat kimiawi tubuh tersebut akan menghambat dan menghancurkan sel-sel imun dalam tubuh kita (sejenis bala tentara dalam tubuh yang bertugas menyerang berbagai penyakit dalam tubuh, sistem pertahanan atau sistem kekebalan tubuh).

Sebaliknya, pikiran yang dimenej dengan baik, yang dibersihkan dari virus-virus kotor semacam iri dengki, dendam, buruk sangka, keputusasaan dan sebagainya, akan dapat membantu proses penyembuhan beragam penyakit dalam tubuh. Di antara ikhtiar cara menumbuhkan pikiran positif tersebut adalah melalui doa yang dilakukan dengan khusyuk dan benar.

Jika kita analisis lebih dalam, proses penyembuhannya semua penyakit, termasuk penyakit degeneratif (penyakit kemunduran) dan penyakit karena Covid 19, sangat dipengaruhi oleh faktor penerimaan secara psikologis dari orang yang mengalaminya. Kalau dia tidak cemas, berputuas asa, menyalahkan Allah dan orang lain, sistem kekebalan tubuhnya akan lebih terkendali.

Itulah mengapa, ada orang yang bisa bertahan lama padahal dia mengidap penyakit ganas. Sebagai salah satu contoh, ada seseorang yang mengidap lupus sejak muda, akan tetapi dia bisa bertahan dan meninggal pada usia 68 tahun. Padahal, dokter sudah memprediksikan kalau usianya tidak akan lama. Itu berarti dia bisa bertahan lebih lama dari vonis dokter. Sebaliknya, ada penderita lupus yang diperkirakan hanya bisa bertahan selama enam bulan, pada kenyataannya ia meninggal dalam waktu tiga bulan, jadi cepat tiga bulan karena dia telah kehilangan semangat hidup.

Sejatinya, setiap penyakit, apa pun itu namanya, hanyalah sebuah ujian yang harus disikapi secara bijak dan positif tanpa meninggalkan ikhtiar untuk melakukan proses penyembuhan. Artinya, seseorang jangan sampai melakukan hal yang seharusnya dihindari yang dapat memicu atau mempercepat datangnya penyakit.

Sebaliknya seseorang dapat mengisi hari-harinya dengan kegiatan yang menenangkan dan menyenangkan, mengikuti pengajian atau kajian ilmu termasuk via online, memperkuat ibadah dan doa, menyayangi dan menolong sesama sesuai kemampuan, dan sebagainya. Itu semua termasuk hal yang menenangkan dan menggembirakan karena di sana akan ada kesempatan untuk berbagi dan memberi.

Biasanya, hadirnya satu penyakit (terlebih lagi penyakit berat atau kronis yang membutuhkan waktu panjang dalam proses penyembuhannya, menguras segala yang ada, baik mental maupun finansial), bisa memberikan satu restart bagi seseorang. Dia termotivasi untuk mengulang, kembali memaknai hidup baru, akan dibawa ke mana sebenarnya hidup ini? Dalam bahasa Psikologi, proses tersebut disebut by learning operant atau diberi masukan dalam proses belajar.

Dalam proses belajar ini, biasanya seseorang akan melalui tiga tahapan psikologis dalam dirinya, yaitu:

Pertama, rejeksi, menolak kenyataan yang harus diterima. “Saya sudah menjalankan prokes dengan optimal, memperbanyak ibadah dan doa, menolong orang, tetapi mengapa saya harus positif Covid 19, berat lagi sampai masuk rumahsakit?” Atau, “Saya sudah berhati-hati berkendaraan, bahkan bersedekah dulu sebelum berangkat, tapi mengapa saya harus mengalami kecelakaan fatal semacam ini?” dan lainnya.

Semakin kuat penolakannya terhadap keadaan yang seharusnya diterima, akan menyebabkan sakitnya semakin parah, baik secara fisik maupun psikis, kadar hormon kortisol dalam tubuhnya akan semakin tinggi sehuingga sistem hormon tubuh pun menjadi kacau balau.

Kedua, adaptasi. Tahap ini muncul ketika seseorang mulai menerima kenyataan. Dia mulai berpikir, “Saya sudah sakit. Mau menerima atau tidak, tetap sakit. Maka hanya satu pilihannya, mensyukuri kondisi ini apa adanya dan bersabar menghadapinya.” Dia kemudian bertekad untuk terus bertahan dan berjuang mengatasi penyakitnya.

Ketiga, optimasi. Fase seseorang yang sudah mampu mensyukuri nikmat. Ada banyak orang yang terkena penyakit berat tetapi dia “mampu berdamai” dengan penyakitnya tersebut. Setelah awalnya shock dan kecewa berat, dia mulai beradaptasi, untuk kemudian bisa berpikir positif, bahkan bersyukur dnegan hadirnya sakit tersebut.

Mengapa? Ternyata, dengan sakitnya itu dia mendapatkan aneka kebaikan yang sebelumnya boleh jadi tidak terpikirkan. Dengan sakitnya itu dia lebih tahu makna hidup, lebih sadar akan kematian, bisa bertobat, dan lebih dekat dengan Allah. Dia pun semakin menyadari bahwa setiap doa yang dipanjatkannya akan mengangkat derajatnya, setiap rasa sakit yang menghunjam organ-organ tubuhnya akan menggugurkan dosa-dosa dan kesalahannya. Inilah bentuk dari optimasi potensi dari apa yang dia miliki.

Pada akhirnya, penyakit yang diderita seseorang bukanlah sebentuk ketidakadilan Allah. Sakit adalah sebuah jalan bagi seseorang untuk mengenal diri dan Rabbnya sehingga dia bisa mengoptimalkan segala sumber daya yang dimilikinya.

Maka, ada satu nasihat bernas dari seorang ulama. Beliau berkata, “Bersandarlah kepada Allah dalam segala urusanmu, termasuk dalam sakitmu. Sesungguhnya, orang yang bersandar kepada-Nya tidak akan pernah kehilangan. Percayalah kepada Allah dan bersabarlah dengan pemberian-Nya. Karena engkau dapat memperoleh hanya melalui pertolongan-Nya.”

Masuk Angin dan Kerokan

oleh Tauhid Nur Azhar

”Ade jangan hujan-hujanan, nanti sakit lho!” Kata-kata semacam ini kerap terlontar dari mulut ibu-ibu. Ya, hujan-hujanan sangat identik dengan sakit, masuk angin, flu, dan sejenisnya. Fenomena ini tidak hanya berlaku pada anak-anak, tetapi juga pada orang dewasa. Namun benarkah kehujanan akan mendatangkan sakit?

Ada banyak mitos kesehatan di sekitar kita yang kadung diyakini kebenarannya. Di antara yang paling pupular adalah mitos masuk angin, kerokan dan angin duduk. Masuk angin sering diasosiasikan dengan kehujanan, begadang (kurang tidur), tugas malam, ataupun perubahan musim (cuaca). Kerokan identik dengan usaha untuk “mengeluarkan angin” dari dalam tubuh. Adapun angin duduk sering dihubungkan dengan kematian mendadak tanpa sebab.

Bagaimana cerita sebenarnya? Mari kita telaah satu persatu.

MASUK ANGIN DAN KEHUJANAN

Mitos masuk angin memang ada benarnya akan tetapi ada pula salahnya. Misal, kita beranggapan bahwa kehujanan bisa menyebabkan masuk angin, demam, batuk, pilek, dan badan linu-linu. Padahal ini adalah gejala khas dari infeksi virus influenza. Apa hubungan antara air hujan dengan virus influenza? Apakah di dalam air hujan terdapat virus influenza? Apakah di balik baju yang basah terdapat segerombolan virus yang siap menyerang? Tentu tidak!

Mengapa kita sakit setelah kehujanan? Apakah kita pernah berpikir bahwa para atlet renang yang hampir 8 jam sehari berada di kolam renang sering masuk angin? Bahkan kita sendiri saat berekreasi ke pantai atau berenang di kolam renang tetap segar bugar, padahal sama-sama air. Mengapa bisa demikian?

Disiplin ilmu psikoneuroimunologi (PNI) menemukan kebenaran dari dalil (hadits qudsi) bahwa Allah Ta’ala itu sebagaimana prasangka hamba-Nya. Prasangka adalah dugaan atau persepsi kita. Apabila Allah saja wujud dan keberadaan-Nya tergantung kepada cara kita memahami dan memaknainya, apalagi sebuah fenomena dalam kehidupan. Persepsi kita adalah bentuk lain dari doa. Saat tubuh kita kehujanan, lalu kita merasa sengsara dan menganggap akan sakit, kemungkinan besar kita akan sakit.

Dari mana datangnya ”doa” jelek tersebut? Dari informasi yang dicangkokkan ke dalam benak kita. Dari mana datangnya informasi itu? Dari pengetahuan yang kita terima sebagai sebuah budaya. Dan, budaya tersebut kemudian diwariskan secara turun-temurun. Lalu kita meyakininya sebagai sebuah kebenaran. Dari sinilah kita diajarkan untuk selalu berburuk sangka kepada air hujan.

Keyakinan bahwa kehujanan akan membuat sakit akan diterima sebagai sebuah informasi oleh otak. Hadirnya informasi ini pada akhirnya menciptakan teror kecemasan di otak manakala kita mengalami situasi kehujanan. Saat cemas itulah terjadi peningkatan kadar hormon kortisol. Apa akibatnya? Sistem pertahanan tubuh menjadi lemah. Pada akhirnya, kondisi ini memudahkan kuman atau virus yang tidak diundang untuk masuk dan mengganggu sistem tubuh kita. Tanpa disadari, ketakutan dan kecemasan kita telah mengundang mereka untuk ”berpesta”.

Dari mana mereka datang? Virus dan kawan-kawannya bisa datang dari lingkungan sekitar, dari orang lain yang kita jumpai, atau bahkan dari antrean virus di sekitar lubang hidung yang menunggu giliran untuk masuk. Inilah sebuah gambaran indah tentang aplikasi sebuah doa. Sebagai harapan yang sarat praduga, doa kita diijabah justru oleh sistem tubuh kita sendiri.

ADA APA DENGAN KEROKAN?

Kerokan termasuk salah satu terapi tradisional yang dikenal luas di masyarakat kita. Cara kerjanya mirip dengan hijamah atau bekam, di mana efek atau hasilnya pun langsung terasa. Kajian soal ”kerok mengerok” ini levelnya termasuk kelas berat lho! Salah satu rujukan ilmiah yang kredibel didapatkan dari hasil penelitian di Harvard Medical School yang disitasi oleh Arya Nielsen, Ph.D. dari New York Mount Sinai Medical Center.

Dalam artikel Pak Arya Nielsen dijelaskan bahwa kerokan atau yang aselinya juga berasal dari Cina daratan dan telah tercatat dalam kitab kedokteran Tiongkok kuno, Shang Han Lun bertarikh 220 tahun sebelum Masehi sebagai terapi Gua Sha yang memiliki efek imunomodulasi.

Sejarah mencatat bahwa gua sha sebagaimana teh yang ditemukan secara tidak sengaja oleh Kaisar Tshen Nung dan kemudian mendunia. Negara pertama yang tercatat menjadi pengguna Gua Sha adalah Vietnam. Di sana dinamakan cao gio atau dalam bahasa Prancisnya, negara yang kelak menjajah Vietnam ratusan tahun, dikenal sebagai effleurage.

Apapun namanya, gua sha, cao gio, kerokan, bekam, atau scratching therapy intinya adalah menggores dan sedikit “melukai” kulit dan jaringan sub kutisnya. Merah-merahnya itu dalam terminologi medis dinamakan transitory therapeutic petechiae yang diakibatkan terjadinya ekstra vasasi di daerah sub kutis. Penelitian yang dilakukan kepada sebelas orang sehat menunjukkan bahwa kerokan dapat meningkatkan mikroperfusi di pembuluh darah sub kutis sebesar 400% dalam waktu 7,5 menit.

Sederhananya, kerokan adalah upaya untuk merangsang sistem pertahanan tubuh (sistem imun) melalui induksi radang lokal. Dengan adanya faktor peradangan, pembuluh darah akan melebar sesaat sehingga faktor-faktor pertahanan tubuh seperti interferon dan tumor nekrosis aktif kembali. Kondisi ini diharapkan akan membangkitkan ”ghirah” sistem pertahanan tubuh untuk mengontrol keberadaan virus.

Hebatnya lagi, ketika semangat sistem imun sudah menyala, virus yang dianggap membahayakan akan dieliminasi dan didaur ulang menjadi material biologis yang lebih bermanfaat bagi tubuh. ***

Mendekatkan Anak dengan Alam

oleh Tauhid Nur Azhar

Kalau membaca kisah-kisah perjalanan hidup paran nabi dan rasul, kita akan mendapati satu fakta menarik bahwa sebagian di antaranya pernah menjadi penggembala ternak. Para manusia agung semisal Nabi Ibrahim, Dawud, Nabi Musa, dan tentu saja Rasulullah saw. pernah menjalani profesi ini.

Pada masa remajanya beliau menggembalakan ternak penduduk Makkah untuk mendapatkan upah. Terkait hal ini, beliau bersabda, ”Semua nabi pernah menggembalakan ternak.”

Para sahabat bertanya, ”Bagaimana dengan Anda ya Rasulullah?”

Beliau menjawab, ”Allah tidak mengutus seorang nabi melainkan dia pernah menggembalakan ternak.”

Sahabat kemudian bertanya lagi, ”Anda sendiri bagaimana?”

Nabi saw. pun menjawab, ”Dahulu aku menggembalakan kambing penduduk Makkah dengan upah beberapa qirath.” (HR Al-Bukhari)

Tentu saja, bukan tanpa alasan kalau Allah Ta’ala mengkondisikan masa kecil para calon nabi sebagai penggembala. Para ulama telah banyak mengupas hal ini di dalam karya-karya mereka.

***

Menggembalakan ternak sejatinya bukan pekerjaan mudah, terlebih lagi jika ternaknya berjumlah ratusan. Seorang penggembala bukan hanya dituntut untuk bisa mencari dan mengarahkan ternaknya ke padang gembalaan yang subur, dia pun harus mampu mengendalikannya agar tidak tersesat dan melindungi hewan-hewan ternak itu dari hewan pemangsa dan pencuri.

Untuk menjalankan tugas tersebut, seorang penggembala wajib memiliki kemampuan leadership dan manajerial yang handal, harus ada cinta dan kasih sayang, keyakinan diri, perhitungan yang matang, kejelian, dan fisik yang prima. Boleh jadi, Allah Ta’ala menjadikan para nabi sebagai penggembala agar kelak mereka mampu mengatur, melindungi, dan melayani umatnya. Allah telah mempersiapkan fungsi kepemimpinan dan manajerial para nabi sejak kecil.

Dengan menggembalakan hewan di padang rumput yang luas, para calon Nabi memiliki saat-saat istimewa untuk jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota, jauh dari manusia dan segala permasalahannya. Dia bisa bertafakur memikirkan keagungan Allah, membaca tanda-tanda zaman yang melingkupinya, dan membersihkan diri dan pikirannya dari cemaran dosa dan kemaksiatan.

Bentangan padang rumput yang luas membuat cakrawala berpikir mereka menjadi luas dan membuat hati mereka menjadi lapang. Otot-otot tubuh teraktifkan. Udara yang masuk ke paru-paru pun adalah udara yang bersih dan jauh dari polusi. Indra penglihatan menjadi lebih efektif bekerja karena bola mata bergerak lebih aktif karena mengambil begitu banyak informasi sensoris dari lingkungan dan tidak terpusat pada satu objek.

Itulah mengapa, menggembala menjadi aktivitas luar biasa yang memberdayakan otak, mengoptimalkan kemampuan berpikir, menajamkan nurani, mengasah emosi, menguatkan dan melatih koordinasi fisik.

***

Bagaimana dengan anak-anak kita sekarang? Untuk meneladani para nabi dengan menjadi gembala tentu sangat sulit, terlebih pada masa sekarang. Namun, orangtua masih bisa mengajari dan mengkondisikan anak untuk dekat dengan lingkungan yang alami.

Maka, sering-seringlah untuk membawa anak-anak kita kepada lingkungan alam yang relatif belum banyak tercemari. Perbanyaklah bermain di tanah lapang. Ajak mereka naik ke puncak gunung yang memiliki bentangan alam yang luas sehingga pikirannya dan hatinya menjadi lebih lapang. Rasakan udara yang segar dan sejuk.

Dengarkan burung-burung yang berkicau dengan bebas. Hirup wewangian alami. Ajak mereka ke pantai. Rasakan angin yang menerpa tubuh. Celupkan kaki si kecil dan biarkan ombak kecil mengelus-elus jemarinya, dan seterusnya.

Orangtua harus menyediakan waktu khusus bersama anak untuk menikmati keindahan ciptaan Allah. Ajari pula anak-anak kita untuk menyayangi binatang dengan beternak ”kecil-kecilan” dan memberi pemahaman bahwa ada makhluk-makhluk lain yang harus dihormati keberadaan dan dijaga kelangsungan hidupnya. Dengan cara ini, bukan hanya perspektif ruang (spasial) dalam otak anak yang berkembang, kecerdasan emosinya pun jadi lebih terasah. In syâ Allah!

--

--

sendy ardiansyah
sendy ardiansyah

No responses yet