Sharlini, Syahrazade di Era Modern

sendy ardiansyah
6 min readJan 18, 2024

--

Tauhid Nur Azhar

Kemarin saat saya tengah berada di gerbong eksekutif KA Argo Parahyangan yang sedang persiapan berangkat dari stasiun Gambir, masuk sebuah pesan dari sebuah nama yang selalu membuat perhatian saya tercuri, Sharlini. DM di aplikasi Instagram itu menyertakan tautan sebuah event dan cover sebuah buku yang merupakan buku pertama dari suatu trilogi.

Judulnya amat mind catching,WKWK Land, Curhatan Alien Vs Balada Polusi. Saya langsung tersepona dan tanpa malu-malu tersenyum sendiri di gerbong kereta api yang untungnya masih sepi.

Pasti satire ini, demikian pikir saya. Mengapa? Karena meski lebih sering bertegur sapa secara virtual, tapi rasanya selama pandemi saya cukup akrab dengan diksi penulisnya. Ya Sharlini tentu saja.

Karakternya dapat tergambar cukup jelas di berbagai Zoom meeting yang kami ikuti bersama. Ia tegas, cerdas, pandai merumuskan konsep pemikiran secara bernas, dan tahu cara mempersuasi, bernegosiasi, dan berkomunikasi dengan sangkil dan mampus. Ia terampil berolah pikir dan beradu premis dengan kapasitas argumentatif akademis yang di atas rata-rata, sekaligus humble dan pandai menempatkan diri dalam beradaptasi dengan situasi dan kondisi.

Pendek kata Sharlini itu amanah, kompeten, harmoni, loyal, adaptif, dan mampu bersikap kolaboratif. AKHLAK banget lah pokoknya. Sharlini dan tim mudanya yang idealis, uniknya punya banyak gagasan utopis tapi sekaligus realistis dan bisa dijabarkan dalam sistematika beralgoritma logis.

Hingga tak heran jika alumnus Teknik Kimia ITB dan meraih jenjang magistrat di Imperial College, yang menjuluki dirinya sendiri sebagai bio economy enabler ini mampu mengonstruksi usaha rintisan yang produknya berbasis pada teknologi garda depan yang ditetapkan melalui kanal kekinian yang terasa dekat dengan berbagai isu yang fit sesuai jaman.

Nusantics nya masuk ke industri layanan kesehatan berorientasi estetik tanpa kehilangan sentuhan magik berupa implementasi ilmu terapan biomedik. Sungguh suatu pilihan strategi yang sangat ciamik.

Didukung oleh para cendekiawan muda diaspora seperti Revata Utama dan sahabat muda saya Fara Rangkuti, tim Sharlini memang unik dan berpotensi besar untuk menjadi pemantik kebangkitan inovasi negeri secara gradual yang dilakukan secara terfokus dengan mengedepankan pendekatan tematik yang asyik.

Pandemi yang tentu merupakan duka bagi bangsa, ternyata juga membawa berkah bagi kita, karena melalui kehadirannya Indonesia jadi mengenal talenta tersembunyi bangsanya. Sharlini dan Nusantics nya bersama sifat kolaboratif nya, berhasil menggandeng East Venture Capital dan Biofarma untuk mengembangkan Kit RT-PCR karya anak bangsa yang tentu saja amat berguna di tengah badai ketidak pastian dan suasana keos dunia yang saling berebut alat, teknologi, dan sumber daya untuk mengelola pandemi yang melanda.

Tak lama varian berikutnya, PuMu yang tak lagi invasif serta menimbulkan efek traumatik “colok-colok”, dihadirkan di pasar, bahkan dilengkapi dengan VarScreen RxReady yang merupakan salah satu jenis PCR SGTF yang mampu mendeteksi SARS-CoV-2 hingga nilai cycle threshold (CT) hingga 40.

Tak hanya itu saja, produk Nusantics ini disiapkan untuk didistribusikan dengan cara yang inovatif pula. Dengan mengedepankan prinsip self test yang berarti bisa menjaga jarak, Nusantics menyiapkan konsep distribusi Kit PuMu (metoa kumur) melalui penggunaan vending machine.

Itu baru salah 2 loh. Ada juga air scan yang dapat membantu peningkatan kualitas keamanan biologis, khususnya dari kemungkinan penularan virus yang bersifat air borne seperti Sars-CoV2 di institusi pendidikan, kesehatan, ataupun perkantoran.

Sementara produk utama dari Nusantics sebagai entitas bisnis yang berada di quadran health&leisure antara lain adalah microbiome scan yang dapat membantu seseorang mengenali karakteristik biologis dirinya yang tak lepas dari pola-pola interaksi sistemiknya dengan semesta.

Sharlini dan para founder Nusantics meyakini bahwa eksistensi manusia terintegrasi dengan berbagai model simbiosis di semesta. Ada flora normal, bakteri komensal, atau yang juga dikenal sebagai probiotik dalam bioma yang berada di tubuh manusia. Ada proses kerja cerdas dan kerjasama mutualisma dalam menjalankan fungsi fisiologi dan biokimia melalui serangkaian reaksi kimia dan fisika yang digerakkan oleh supra sistem dengan kapasitas tak terjangkau minda.

Ada pola, ada sistematika, dan ada banyak bentuk interaksi dengan komunikasi nir kata yang kemudian dapat diterjemahkan di berbagai ranah seperti nutrigenetika dengan nutrigenomiknya, analisa omics, metabolom, dan tentu saja sekuens genom untuk mengidentifikasi siapa dan apa lalu mengapa mereka ada, serta bagaimana kita semua bekerja dalam sistem yang sejalan dengan keselarasan semesta.

Pantas jika Pak Gita Wirjawan, mantan Menteri yang juga pelaku bisnis investasi utama di tingkat global kepincut dengan sepak terjang Sharlini. Anak Ganesha yang melanglang sampai Britannia dan mau pulang kampung untuk menuntaskan janji pada bangsanya yang belum rampung.

Dalam End Game, Sharlini banyak mengungkapkan harapan dan kritik santuynya pada situasi terkini yang secara realitas terepresentasi dari situasi negeri. Pasca End Game tentu saja nama Sharlini langsung mengemuka sebagai salah satu cendekia muda Indonesia yang patut untuk menjadi barometer perkembangan peradaban bangsa. Saya pun banyak menaruh harap pada energi dan idealismenya.

Ia meletup-letup, penuh energi yang tertampung dalam ketel uap yang siap dialirkan ke sistem transmisi penggerak roda gigi dan mengonversi energi potensial menjadi kinetik yang dapat mengakselerasi transformasi di negeri ini.

Maka bukunya tentang polusi pastilah sebentuk keresahannya tentang kondisi lingkungan yang bersifat multi dimensi dan multi persepsi. Tak sesederhana dugaan kita pastinya.

Lalu dalam trilogi ini ia juga akan membahas bioetika yang merambat sampai pinjol dan judol alias judi daring. Hal yang juga menjadi concern serta kecemasan saya akan dampak kontra produktifnya.

Lalu di buku terakhir dari trilogi ini, Sharlini akan mengelaborasi topik nan seksi yang juga menjadi bagian dari ekspresi “gen-gen” personal passion nya, bio ekonomi. Ekonomi hijau biru ungu dan kelabu yang tak sekedar sirkular tapi juga berkesinambungan yang berkeselarasan. Yang mengakomodir dan mengarusutamakan kesemestaan dengan berbagai kearifan adiluhung yang membersamainya.

Iya nggak ya? Ngarang saya sebenarnya. Karena naskah dari manuskrip ajaib Sharlini belum saya baca. Taoi setidaknya saya bisa sedikit “membaca” Sharlini dari cara ia berkomunikasi dengan anjingnya saat dialog mesra mereka bocor di ruang daring yang tengah membahas berbagai issu penting.

Bagi yang gemar membaca kisah-kisah eksotik tentu pernah mendengar kisah tentang Putri Syahrazade bukan? Kisah epik yang lahir di masa kejayaan dinasti Abbasiyah saat dipimpin oleh seorang Sultan bijak bernama Harun Al Rasyid (786–803).

Kisah tentang seorang putri Sassanid yang dinikahi oleh raja Syahriar yang bermasalah secara psikologi karena trauma pengkhianatan di perkawinan sebelumnya.

Raja Syahriar punya obsesi yang aneh terhadap hubungan suami istri. Kemarahan terpendam dan kekuasaan monarki yang memberinya otoritas hukum tertinggi, membuat Syahriar dapat menghukum mati setiap istri barunya setelah melewati malam pertama. Semua hanya karena dorongan impulsi defensi agar tidak lagi merasa disakiti karena diselingkuhi.

Para wanita malang yang diperistri Syahriar harus menerima kenyataan tragis, dieksekusi setelah malam pertama dilalui. Absurd sekali bukan?

Lalu tibalah giliran Syahrazade terpilih sebagai istri Raja Diraja Syahriar. Apa lacur, tak kuasa menolak Syahrazade pun dipinang sebagai istri raja yang tentu saja berarti juga menandatangani kontrak kematiannya. Tapi Syahrazade seperti juga Sharlini, ia menolak untuk menyerah dalam memperbaiki keadaan dan memutus rantai kutukan yang menimpa kaum wanita seperti dirinya. Jika Sharlini tentu konteksnya adalah kondisi negeri ini ya.

Syahrazade yang cerdas dan terlahir dari alam rahim budaya cendekia, mumpuni dalam berstrategi dan berlogika. Ia adalah murid spiritual Abu Nawas (tokoh yang mungkin fiktif), Aristoteles, dan juga mungkin sejiwa dengan Piaget di masa berikutnya.

Ia yang pandai bernarasi dan mementaskan wacana melalui sebentuk prosa yang merupakan skrip dari sandiwara di teater persepsi otak manusia, berhasil mempesona Raja Syahriar lewat lantunan cerita demi cerita di setiap malam yang terbukti berhasil mempertahankan usianya selama 1000 malam lamanya.

Bahkan cerita Syahrazade mungkin telah beralih rupa menjadi bagian dari model psikoterapi yang dapat memulihkan kondisi kejiwaan Raja Syahriar. Rangkaian cerita yang kemudian dirangkai dalam kitab Hazar Afsanah ini terbukti telah menjadi metoda yang bukan hanya penyelamat diri, melainkan juga menjadi penyelamat negeri.

Kita doakan demikian pula yang akan terjadi pada Sharlini, semoga serangkaian seribu gagasannya dapat menjadi seperti kisah 1001 malamnya Syahrazade yang ampuh untuk menyembuhkan kegilaan dan memupus ketidak percayaan akan masih adanya harapan.

Bukankah tidak akan berubah nasib suatu kaum, jika bukan mereka sendiri yang berusaha untuk mengubahnya?

--

--

sendy ardiansyah
sendy ardiansyah

No responses yet