Pengaruh Makanan terhadap Perilaku

sendy ardiansyah
6 min readMar 5, 2024

--

Tauhid Nur Azhar

Maka hendaklah manusia memperhatikan makanannya.”

(QS Abasa’, 80:24)

MAKANAN. Kenalkah Anda dengan ”benda” yang satu ini? Jika dia manusia hidup, pastilah yang namanya ”manakan” tidak akan pernah terlewatkan. Saking rutinnya, aktivitas mengonsumsi makanan pun jadi tampak tidak penting dan biasa-biasa saja. Padahal, proses ”makan memakan” termasuk hal penting dalam hidup karena, selain menjaga kelangsungan hidup, makanan pun dapat mempengaruhi sikap dan perilaku. Baik dan buruknya kesehatan fisik dan perilaku seseorang, ternyata sangat dipengaruhi berkualitas tidaknya menu makanan yang dikonsumsinya.

Secara umum, makanan itu memiliki tiga fungsi atau manfaat. Pertama, sebagai bahan baku penyokong tumbuh kembang manusia (building block) atau sebagai sarana untuk mengganti dan meremajakan sel-sel yang rusak, khususnya yang berbentuk protein dan lemak; (2) sebagai bahan metabolisme, semisal proses gula menjadi enzim, bahan pembentuk neurotransmitter, dan sebagainya; (3) secara nutrigenomik, bahan makanan dan pola makan pun dapat menentukan profil DNA yang akan diekspresikan, sehingga ungkapan you’re what you eat memiliki dasar ilmiah yang kuat, bukan saja secara fisik tetapi juga perilaku.

Terkait poin ketiga, bahan makanan, cara makanan, ataupun pola makan merupakan sebuah sarana untuk melatih gen-gen yang baik agar dapat diekspresikan. Bahan makanan yang tepat dapat menentukan ekspresi DNA-DNA yang baik. Pepatah mengatakan bahwa ”orang bodoh menjadikan hidupnya untuk makan, sedangkan orang cerdas menjadikan makan untuk (meningkatkan kualitas) hidup. Pada tingkat DNA, makanan itu bisa berfungsi sebagai prekursor atau pendorong yang berfungsi sebagai bahan baku enzim yang memungkinkan DNA bisa terekspresikan. DNA dapat mengekspresikan sifat-sifat baik apabila DNA tersebut memiliki cukup energi untuk bekerja, dan energi ini didapatkan dari bahan makanan yang tepat. Ketika seseorang menjalani prosesi makan secara baik, dan kemudian diulang menjadi sebuah pola kebiasaan, DNA baik ini cenderung untuk menjadi sensitif dan lebih dominan dibandingkan DNA lainnya. Ibaratnya, atlet yang paling serius berlatih, dialah yang akan paling menonjol dan memenangi pertandingan, seperti itu pula gen-gen yang ada dalam tubuh kita.

Sebuah contoh konkret dapat dikemukakan di sini, bahwa pola makan orang-orang zaman modern yang tidak sehat dan didominasi oleh aneka jenis makanan olahan yang mengandung bahan pengawat kimia, tidak hanya mempengaruhi kualitas kesehatan fisik, tetapi juga perilaku, walaupun kadarnya berbeda-beda antara setiap orang. Mengapa demikian? Zat-zat aditif dan zat-zat kimia sintetis yang berada dalam makanan olahan memiliki sifat memblok atau mengganggu neurotransmitter di otak. Ia bekerja dengan cara meniru cara kerja neurotransmitter. Efek yang ditimbulkan dari banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung zat-zat aditif dan zat-zat sintetis ini adalah timbulnya perilaku yang tidak terkendali atau tidak diinginkan, seperti mudah marah, beringas atau loyo. Bahan makanan tertentu seperti terigu, yang banyak terdapat dalam biskuit dan roti, atau susu dan makanan yang mengandung MSG, dapat pula menimbulkan gangguan perilaku pada orang-orang tertentu.

Dalam bukunya yang berjudul ”Gut And Psychology Syndrome”, Dr. Natasha Campbel McBride menyatakan bahwa makanan yang mengandung kasein dan gluten dicurigai dapat mempengaruhi kesehatan usus pada orang-orang tertentu, terutama pada penderita autis. Kasein adalah protein yang terkandung dalam susu dan produk makanan dan oats, misalnya tepung terigu, roti, oatmeal dan mie instant. Bagi penderita autis, gluten dan kasein dianggap sebagai racun karena tubuh penderita autis tidak menghasilkan enzim untuk mencerna kedua jenis protein ini. Akibatnya protein yang tercerna dengan baik akan diubah menjadi komponen kimia yang disebut opioid atau opiate. Opioid bersifat layaknya obat-obatan seperti opium, morfin, dan heroin yang bekerja sebagai toksin (racun) dan mengganggu fungsi otak dan sistem imunitas. Itulah mengapa, penderita gangguan perilaku yang terkait dengan gangguan pencernaan seperti autis disarankan untuk menjalani diet bebas gluten dan kasein atau diet GFCF (gluten free and casein free) selama 3–6 bulan.

Itu contoh pada anak-anak, khususnya pengidap autisme. Bagaimana dengan orang dewasa? Jawabnya adalah ”sama saja”, makanan berpengaruh besar terhadap kondisi fisik dan psikologis seseorang. Pola makan yang buruk dan jenis makanan yang kurang bergizi lagi-lagi menjadi biang dari terganggungnya kinerja neurotransmitter di otak.

Kita ambil contoh makanan bergenre fast food yang tinggi kadar garamnya. Para ahli masak menemukan bahwa garam yang dihidangkan dalam kondisi panas bisa menambah rasa gurih makanan sebagaimana Chinesse food yang menggunakan MSG. Garam itu ada yang berbentuk kristal, setengah cair (semi liquid) dan cair (liquid). Garam yang berbentuk kristal akan menjadi semi liquid jika dipanaskan di atas suhu 100 derajat celcius. Saat dipanaskan, garam akan mengalami perubahan struktur molekul, sehingga cita rasanya tidak menempel di reseptor asin lidah, akan tetapi di reseptor umami yang mendeteksi rasa gurih serta kelezatan makanan. Maka, jangan heran apabila yang namanya fast food selalu dihidangkan dalam kondisi panas. penyebabnya adalah karena rasa gurih dari makanan tersebut didapatkan dari garam semi liquid yang dipanaskan. Kalau dihidangkan dalam kondisi dingin, kelezatannya akan berkurang dan rasa asinnya akan sangat terasa.

Disadari atau tidak, dalam suasana kompetitif para produsen makanan, kadar garam yang dibubuhkan ke dalam masakan telah melebihi ambang batas. Alasannya adalah dengan semakin banyak garam yang dibubuhkan, semakin lezat pula cita rasa masakan yang dihidangkan. Bayangkan kalau seseorang tiga kali dalam sehari makanannya fast food! Apa yang akan terjadi? Kadar garam dalam tubuhnya akan terakumulasi melebihi batas normal. Kondisi ini pada akhirnya akan mendatangkan masalah serius bagi kesehatan, baik secara fisik maupun mental. Masalah kesehatan tersebut antara lain: (1) obesitas alias kegemukan; (2) penyakit jantung, diabetes, serta darah tinggi; (3) depresi yang menyebabkan meningkatnya angka bunuh diri. Depresi ini akan menjadikan orang agresif dan mudah melakukan tindakan di luar kendali akal sehat, seperti membunuh atau bunuh diri.

Pengaruh Makanan terhadap Ibadah

”Semua hamba Allah dituntut bertemu dengan Rabb-nya dengan membawa pahala.

Namun, itu tidak mungkin semua itu tercapai kecuali dengan ilmu dan amal.

Ilmu dan amal tidak mungkin terwujud kecuali dengan badan sehat.

Dan, badan yang sehat tidak mungkin hadir tanpa makanan yang layak.”

Abu Hamid Al-Ghazali

Makanan bagi tubuh bagaikan bensin atau bahan bakar bagi kendaraan. Tanpa adanya bahan bakar sebagus apa pun kendaraan, ia tidak akan dapat difungsikan secara optimal. Akan tetapi, adanya bahan bakar tidak menjamin kendaraan dapat berfungsi optimal. Bahan bakar tersebut yang gunakan harus sesuai dengan spesifikasi kendaraan. Komposisinya harus pas dengan kebutuhan mesin. Salah bahan bakar, salah komposisi, dan penggunaan yang tidak tepat, alih-alih dapat memfungsikan mesin, justru sebaliknya malah merusak dan menghancurkan mesin mobil.

Makanan pun demikian. Untuk bertahan hidup, manusia membutuhkan makanan. Namun, makanan pun tidak menjamin hidup seseorang. Makanan yang kita butuhkan bukan sekadar pelepas rasa lapar, tetapi juga memberikan nilai positif bagi kesehatan organ-organ tubuh. Rasa lapar merupakan sinyal bahwa tubuh membutuhkan unsur-unsur yang dibutuhkan. Unsur-unsur tersebut sebagian dihasilkan oleh tubuh itu sendiri. Akan tetapi, sebagian besar tidak dapat diproduksi oleh tubuh sehingga harus didatangkan dari luar melalui asupan makanan.

Makanan yang kita konsumsi tentu saja harus memiliki nilai gizi yang seimbang, antara lain: protein, sebagai zat pembangun dan pemelihara sel-sel tubuh, (sejumlah 10–15 persen); lemak, sebagai cadangan dan sumber energi yang besar; pelarut berbagai vitamin; pelindung organ vital tubuh, dan pembentuk jaringan, (sejumlah 20–25 persen); karbohidrat, sebagai sumber tenaga yang memungkinkan tubuh menjalankan berbagai aktivitas, (sejumlah 50–60 persen). Selain tiga golongan nutrisi utama tersebut, kita pun membutuhkan tambahan zat gizi dalam bentuk vitamin, mineral, dan air yang cukup.

Sejatinya, ketika makanan yang kita konsumsi seimbang dan bergizi, kita akan lebih sehat. Dengan lebih sehat, kita pun akan bisa beraktivitas dengan lebih optimal. Ambil contoh dalam menjalankan ibadah. Bagaimana mungkin kita dapat menjalankan shalat tepat waktu di masjid, berjamaah, dan dalam keadaan khusyuk, apabila kesehatan kita terganggu, emosi labil, atau dalam keadaan depresi. Kita pun boleh-boleh saja berniat melakukan beragam amal saleh, akan tetapi ketika zat penghubung di dalam otaknya, yaitu neurotransmitter, tidak berfungsi akibat kurangnya pasokan bahan baku dari makanan, niat beramal saleh pun hanya sekadar niat saja tanpa adanya eksekusi.

Sebagai contoh, ada dua jenis asam amino yang sangat penting bagi manusia dalam meraih ketenangan hati, mendukung kekhusyukan ibadah, menjadikannya ikhlas, sabar dalam berhaji, dan membawa kejernihan dalam serta menimbulkan motivasi beribadah, yaitu triptofan dan tirosin. Kedua asam amino ini mampu melewati blood barrier atau sekat antara otak dan darah. Triptofan memiliki efek menenangkan sedangkan tirosin memiliki efek meningkatkan motivasi atau semangat sehingga kita waspada dan hati-hati. Kedua hal ini sangat penting dimiliki manusia. Dalam menjalankan ibadah atau berjihad fî sabilillâh, kita membutuhkan energi, keberanian mengambil risiko, dan semangat dalam menjalankannya. Tanpa adanya motivasi atau semnagat ibadah apa pun tidak mungin bisa terealisasi dengan optimal. Semua ini dapat terwujud, salah satunya melalui media makanan yang halal lagi thayyib.

Oleh karena itu, mengonsumsi makanan bergizi seimbang menjadi sebuah keharusan bagi seorang Muslim yang ingin kaffah dalam hidupnya. Ada satu ungkapan menarik dari Imam Al-Ghazali, seorang ulama besar, ahli tasawuf, penulis kitab Ihya ’Ulumuddin, ”Semua hamba Allah dituntut bertemu dengan Rabb-nya dengan membawa pahala. Namun, itu tidak mungkin semua itu tercapai kecuali dengan ilmu dan amal. Ilmu dan amal tidak mungkin terwujud kecuali dengan badan sehat. Dan, badan yang sehat tidak mungkin hadir tanpa makanan yang layak.”

--

--

sendy ardiansyah
sendy ardiansyah

No responses yet