Makhluk Ghoib yang Menjaga Kita

sendy ardiansyah
7 min readFeb 3, 2024

--

Tauhid Nur Azhar

Menyimak penjelasan guru besar mikrobiologi FKUI yang juga calon astronot Indonesia pada misi STS-61-H yang dibatalkan karena kecelakaan wahana antariksa ulang alik Chalenger, Pratiwi Pujilestari Sudarmono, membuat alam pikiran sontak dipenuhi aneka drama tak kasat mata yang diperankan makhluk ghaib bergenre mikrobiota.

Lewat narasi yang menggugah minda, Kang Dr. Intan Taufiq dari SITH ITB menggambarkan konsep semesta mikro dengan jagat kosmosnya sendiri yang dinamai mikrobioma. Menurut Kang Intan, mikrobioma adalah sekumpulan populasi mikrobiota dengan “teater aktivitas” nya. Dan kita, baca manusia, adalah salah satu panggung yang menjadi pentasnya.

Tentu tak hanya di manusia saja para mikrobiota yang terdiri dari arkae, fungi, bakteri, eukariot sederhana, protista, juga virus, berpentas dan beraktivitas. Mereka tersebar di semua ruang di seluruh permukaan dan kulit bumi. Ada di tanaman, tanah, udara, air, hewan, dan juga manusia.

Secara definisi, mikrobiota dengan ruang hidupnya ini kerap lebih dikerucutkan sebagai komunitas ekologis mikroorganisme yang melakukan simbiosis komensalisme, juga patogenik, pada organisme multisel. Istilah yang dinisbatkan kepada ekosistem mikro itu menurut Joshua Lederberg adalah mikrobioma.

Menurut Prof Pratiwi sekurangnya terdapat sekitar 10–100 triliun mikrobioma pada manusia. Setiap 10 miliar sel tubuh manusia, terdapat 10 sel mikroba hidup di dalamnya.

Sementara itu sel manusia mengekspresikan sekitar 23 ribu gen, akan tetapi total ekspresi gen dalam tubuh bahkan mencapai sekitar 3 juta gen.

Darimanakah gerangan 2,9 juta lebih gen tersebut berasal? Berbagai hasil riset menunjukkan bahwa jutaan gen tersebut merupakan kontribusi mikrobioma yang terdapat di tubuh manusia. Di mana setiap kelompok populasi mikroba memiliki peran yang maujud dalam pengekspresian berbagai protein fungsional seperti enzim atau faktor pertumbuhan.

Bahkan banyak riset menunjukkan bahwa keberadaan mikrobiota di saluran cerna berhubungan erat dengan kinerja otak melalui pengaruhnya pada sekresi neurotransmiter dan neurotropin.

Menurut Dr.dr Reza Gunadi Ranuh, SpA(K) dari FK Unair mikroba dari keluarga Lactobacilus Plantarum, Lactobacilus Rhamnosus, Lactobacilus Acidopilus, dan Bifidobacterium Longus mempengaruhi proses sekresi Serotonin.

Dimana telah diketahui dari hasil penelitian terdahulu bahwa 90% Serotonin yang bekerja di jaringan syaraf diproduksi di saluran cerna. Tepatnya oleh sel-sel Enterokromafin di lapisan mukosa lambung.

Serotonin ini berperan dalam mekanisme terbentuknya rasa lapar sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan terhadap sumber catudaya hayati. Selain itu Serotonin juga memiliki titik tangkap fungsional dalam metabolisme tulang, pembekuan darah, dan tentu saja berperan di jaringan syaraf (otak) untuk menghasilkan mood, kemampuan kognisi, dan pembentukan perilaku.

Secara umum mikrobioma usus berperan dalam proses ekspresi neuromodulator seperti brain-derived neurotropic factor (BDNF), dan faktor pertumbuhan seperti neurotropin (NT), selain berperan dalam mekanisme kerja serotonin (5-HT), dan serotonin transporter (5-HTT) di hipokampus dan amigdala.

Dengan memanfaatkan perkembangan teknologi di bidang biosains dan mikrobiologi para peneliti kini sudah dapat mengidentifikasi dan memetakan berbagai jenis mikrobiota yang menjadi bagian dalam sebuah mikrobioma.

Penemuan teknik sekuensing 16S rRNA misalnya, telah membantu membangun basis data terkait dengan konten taksonomi bakteri. Sementata sekuensing metagenomik dan metatranskriptomik dapat memberikan gambaran prediktif tentang fungsi yang diperankan suatu mikroba berdasarkan kandungan dan ekspresi gennya.

Hal ini dapat lebih diperkuat dengan berbagai metoda analisis omic lainnya seperti proteomik. Dimana proteomik yang dicetuskan oleh Wasinger et al pada 1995 sendiri dapat memberikan gambaran terkait dengan struktur, sifat, dan fungsi protein.

Kembali kepada mikrobioma manusia, tentu muncul pertanyaan mendasar, darimanakah kiranya gerangan mereka datang? Bukankah kehidupan di alam rahim (intra uterine) itu steril dan bebas mikroba?

Ternyata di tahap awal kehidupan kita mendapatkan “benih” mikroba pertama kita dari jalur maternal (dari ibu) melalui plasenta dan mekonium (feses janin). Spesies mikroba di plasenta manusia yang telah teridentifikasi antara lain adalah Firnicutes, Tenericutes, Proteobacteria,

Bacteroidetes, dan Fusobacteriaphyla. Keragaman jenis mikrobiota dalam plasenta

tersebut sama dengan mikrobiota yang terdapat

di dalam rongga mulut manusia. Sementara Actinobacteria, Proteobacteria, Bacteroidetes,

dan Firmicutes adalah jenis-jenis spesies mikrobiota yang banyak ditemukan di minggu-minggu awal kehidupan intra uterine saat jaringan syaraf dan saluran cerna mulai dapat bekerja.

Sumber dari mikrobiota tersebut diduga berasal dari mekonium yang meski belum dikeluarkan dari saluran cerna bagian bawah, akan tetapi di dalamnya telah terjadi kolonisasi sebagian bakteri yang berasal dari plasenta, dan pada gilirannya dilepaskan ke cairan amnion, dan sebagian ditelan ulang oleh janin.

Di sisi lain, sejak beberapa belas tahun lalu saya kerap menyampaikan materi edukasi publik terkait dengan diversitas mikrobiota dalam mikrobioma bayi yang berperan penting dalam berbagai kondisi patologis seperti alergi dan asma yang merupakan kelainan bawaan di ranah imunologi.

Perbedaan yang teramati pada populasi mikrobiota pada bayi yang dilahirkan normal (pervaginam) dengan bayi-bayi yang dilahirkan melalui operasi sectio, tampaknya berhubungan dengan tercetusnya berbagai kondisi seperti alergi atau berbagai jenis reaksi hipersensitifitas lainnya.

Mikrobiota bayi yang

dilahirkan dengan persalinan normal dikarenakan melalui jalur vagina, maka memiliki

kemiripan dengan mikrobiota di vagina ibu. Spesies mikrobiota yang

ditemukan antara lain ialah Lactobacillus sp. dan Prevotella

sp.

Secara lebih spesifik, pada bayi yang dilahirkan pervaginam dijumpai koloni dari Lactobacillus Johnsonii sp yang memiliki peran penting dalam membantu proses pencernaan air susu ibu/ASI.

Sedangkan sebaran jenis mikrobiota pada bayi yang dilahirkan

secara sesar antara lain ialah Clostridium sp, Staphylococcus

sp, Propionobacterium sp, dan Corynebacterium sp. Tentu hal ini terkait dengan pajanan dari lingkungan yang diakibatkan tindakan medis.

Untuk selanjutnya seorang manusia akan mengembangkan komponen mikrobiomanya berdasarkan berbagai proses interaksi yang terjadi dalam hidupnya. Ada interaksi dengan lingkungan, budaya, asupan, kondisi geografis habitat, keanekaragaman hayati yang antara lain mempengaruhi keberagaman pangan, dan juga penggunaan obat-obatan serta konsumsi berbagai zat yang dapat mengakibatkan ketidakseimbangan mikrobioma atau yang juga dikenal sebagai disbiosis.

Mikrobioma di dalam tubuh juga dapat menjadi indikator kesehatan dan penilaian terkait berbagai fungsi sistem faali tubuh. Sebaran dan perannya yang spesifik dapat dijadikan tolok ukur ideal tidaknya suatu ekosistem dalam menjalankan fungsinya.

Actinobacter, Bacteriodetes, Cyanobacteria, Firmicutes, dan Proteobacter misalnya, memiliki habitat dan komposisi populasi komunitas nya sendiri-sendiri. Ada yang bertugas menjadi bagian dari sistem imunitas alamiah di rongga hidung dan saluran nafas melalui mekanisme kompetisi dengan mikroba patogen, ada yang bertugas meregulasi sistem imun bersama Secondary Lympathic Organ atau SLO, dan ada pula yang bertugas memproduksi Serotonin dan Neurotropin seperti yang sudah dibahas di atas.

Bahkan kasus obesitaspun dapat disebabkan oleh diversitas mikrobioma usus. Penelitian Gordon et al di Washington University menunjukkan bahwa homogennya populasi dalam mikrobioma usus (biasanya didominasi oleh Firmicutes dan Bacteriodetes) berkorelasi dengan tingginya produksi enzim pencernaan dan optimalnya tingkat penyerapan sehingga timbunan komponen cadangan seperti lemak juga turut meningkat. Sebaliknya semakin tinggi keragaman dalam populasi mikrobioma usus, mengakibatkan perubahan komposisi enzim pencernaan dan penyerapan dapat dibatasi sesuai dengan kebutuhan. Transplantasi mikrobiota dari tikus obesitas ke tikus normal memperlihatkan bahwa tikus yang semula normal, setelah menerima koloni mikrobiota dari tikus obesitas, mengalami kenaikan berat badan.

Teknik pemindahan mikrobiota ini kemudian berkembang dan dikenal sebagai Fecal Microbiota Transplantation, dimana dapat digunakan sebagai sebentuk terapi untuk memenuhi keragaman bakteri yang diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya kondisi patologis.

Sebenarnya peran mikrobioma dalam kehidupan manusia, bahkan dalam keberlangsungan semesta masih sangat banyak.

Mungkin ada yang pernah mendengar tentang mikrobiota pengurai plastik? Banyak, ada keluarga Pseudomonas atau kapang Aspergillus.

Atau pernah mendengar peran mikroba dalam mengurai pencemaran minyak bumi di lepas pantai? Banyak juga, ada Marinobacter, Oceanobacter, ataupun Rhodobacter.

Ada juga mikrobiota yang memiliki kemampuan mengurai dan mengolah limbah organik seperti tinja agar dapat menjadi material yang bermanfaat bagi kesehatan alam dan manusia. Keluarga Proteus dan Clostridium memiliki kemampuan penguraian ataupun dekomposisi material organik secara efektif dan efisien.

Inipun kita belum berbicara tentang proses fermentasi yang tentu saja diperankan oleh mikrobiota. Juga belum bercerita soal romantika bernuansa cinta yang terbit bersama senja di saat rintik hujan mulai menyapa. Ada bau tanah yang memantik percik asmara.

Ahli menamai bau tanah saat hujan itu petrikor. Aromanya datang dari geosmin yang diproses dengan bantuan bakteri berfilamen dari keluarga Actinomycetes.

Saya jadi teringat sebuah buku berjudul 10% Human karya Allana Collen yang berkisah tentang kiprah mikrobiota di tubuh manusia yang ternyata merupakan penggerak utama dari setiap sistem di dalamnya. Sayangnya buku yang saya dapatkan dengan susah payah di suatu pameran buku internasional itu raib karena tertinggal di sebuah rumah makan. Tapi dari kajian buku itu yang sempat saya baca, sebenarnya dapat tergambarkan betapa besar peran mikrobiota dalam berbagai mikrobioma sebagai pemeran utama yang menghadirkan eksistensi sistem di setiap model kehidupan.

Mulai dari jejak mikroba Cyanobacteria di Stromatolit yang berusia sekitar 3,7 milyar tahun, sampai berbagai jenis ragi yang kita gunakan untuk menghasilkan berbagai produk pangan melalui proses fermentasi. Semua menjadi bukti bahwa dunia ini pada hakikatnya dibangun Tuhan antara lain melalui sepasukan ghoib tak kasat mata yang tergolong dalam bangsa mikrobiota.

--

--

sendy ardiansyah
sendy ardiansyah

No responses yet