Mabuk Kepayang & Nutripsi Genomik
Tauhid Nur Azhar
Entah mengapa, kearifan lokal di Nusantara ini kalau dipikir-pikir memang sedemikian hebatnya. Bukan semata soal Jung Jawa yang begitu digentari oleh para pelaut Eropa karena ukurannya yang spektakuler luar biasa, Jung atau Dong Jawa besarnya 4–5 kali kapal Flor de la Mar, kapal terbesar Portugis pada tahun 1511. Padahal ukuran Flor de la Mar pada saat itu sudah masuk kategori gigantic di Eropa sana, karena panjangnya diprakirakan sekitar 69 m–78,3 m. Kalau Jung Jawa 5x nya, ya berarti sekitar 350 meter panjangnya. Kapal induk pada masanya bukan?
Lalu kita bisa bayangkan juga di era Mataram kuna, Medang, dan Kalingga semenjak masa pemerintahan Ratu Shima, stapaka (arsitek candi) dan stapati (konstruktor candi) telah mampu membangun bangunan nan artistik, dengan desain sedemikian unik, ornamen pelik yang sangat cantik dan sarat makna simbolik, disertai tata ruang yang mengakomodasi berbagai makna kosmik.
Planologi esoterik tampaknya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan peradaban Nusantara yang sudah bermula dari sekitar abad 8–9 M, terkait dengan ilmu tata ruang, desain, arsitektural, ilmu material, dan sipil konstruksi. Ilmu Wastusastra Nusantara jelas berbeda dan bahkan menjadi panutan bagi pembangunan candi-candi terkemuka di Angkor Khmer yang kini dikenal sebagai Kamboja.
Telaah heuristik, dimana menurut Helius Sjamsudin (2007) adalah sebuah kegiatan mencari sumber- sumber untuk mendapatkan data-data, atau materi sejarah, atau evidensi sejarah, sangatlah perlu dilakukan agar nilai-nilai fundamental yang menjadi fondasi terbangunnya kecemerlangan peradaban pada masanya dapat ditelisik untuk dipelajari, diekstraksi, dan diubahsuai agar dapat menjiwai konstruksi peradaban hari ini, demi masa depan negeri.
Tak berhenti sampai di sana saja, bahkan dalam urusan etnobotanika dan nutrigenomik terkait kearifan kuliner dan optimasi sumber daya manusia selaras dengan dinamika alamnya telah dilakukan oleh nenek moyang Nusantara dengan segenap kewaskitaannya.
Siapa yang menyangka bahwa di balik kenikmatan dan kelezatan Gabus Pucung, Rawon, Nasi Pindang, Brongkos, sampai berbagai masakan di Gorontalo, dan pedalaman Kalimantan terdapat kearifan lokal perumamian yang “berbahaya”. Karena kelezatan berbagai makanan tersebut berasal dari biji buah beracun yang memiliki nama berbeda-beda di setiap daerah.
Orang Betawi menyebutnya Pucung, sedangkan masyarakat Jawa mengenalnya sebagai pakem atau keluwek. Orang Sunda menyebutnya picung, orang Sulawesi menamainya pangi, lalu kalowa di Sumbawa, dan nagafu di Tanimbar. Ternyata semua itu berasal dari biji buah pohon yang sama.
Adapun buah pohon itu seukuran pepaya berujung lancip dan berwarna cokelat. Satwa liar seperti babi hutan (Sus celebensis) , babi rusa (Babyrousa babirussa), anoa (Bubalus spp), dan monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra dan Macaca nigrescens) senang mengonsumsi daging buah pohon yang habitatnya dekat sumber air atau daerah aliran sungai itu. Padahal beracun.
Biji tanaman itu mengandung asam sianida dalam konsentrasi tinggi. Selain asam sianida, beberapa kandungan kimia lainnya yang terdapat pada buah kepayang (Pangium edule) antara lain vitamin C, ion besi, betakaroten, asam hidnokarpat, asam khaulmograt, asam glorat, dan tanin.
Tapi anoa dan babirusa di Sulawesi Utara dan Gorontalo, khususnya yang teramati di Taman Nasional Nani Wartabone, memiliki cara khusus untuk menetralisir racun buah Kepayang. Mereka setelah mengonsumsi buah Kepayang yang memiliki kandungan Sianida, akan meminum air pekat dari kolam lumpur adudu di tengah hutan yang kaya akan garam mineral. Kubangan ajaib ini rupanya selain sumber garam yang dibutuhkan dalam mekanisme neurotransmisi yang berbasis koneksi biolistrik, juga merupakan sumber nutrisi mikro/trace element, mineral, juga sumber alkali yang dapat menetral asam sianida melalui reaksi redoks yang menghasilkan garam.
Sementara manusia Nusantara juga punya cara untuk mengurangi resiko bahaya dari buah dan biji Kepayang ini. Untuk menghilangkan kandungan asam sianida, buah kepayang atau kluwek (Pangium edule) yang telah matang dan jatuh dari pohon dikumpulkan dalam satu karung dan dibiarkan basah oleh air hujan atau malah direndam dalam air dalam waktu 10–14 hari. Dengan begitu, selain kulit atau cangkangnya akan lebih mudah dikupas juga dapat menghilangkan racun asam sianida yang terdapat pada bijinya.
Pertanyaannya adalah, dari sekian banyak keragaman hayati berupa berbagai vegetasi di hutan hujan tropis Nusantara, mengapa harus Kepayang yang punya potensi bahaya?
Salah satunya ya karena efek Kepayang dari Keluwek itulah yang membuat kita kasuat-suat sulit melali dan terjerat adiksi, hingga reward center di otak kita seperti nukleus akumben dan ventral tegmental area merengek-rengek ingin terus mencicipi berulang-ulang kali.
Barangkali dari minyak dan infusa biji Kepayang ini memang ada kandungan fraksi umami asam amino Glutamat dan Fenilalanin yang dapat memikat reseptor rasa lezat sebagaimana konbu rumput laut yang punya rasa kaldu yahud.
Atau juga ada kandung senyawa lain sebagaimana yang dihasilkan kapang hitam gandum yang dikenal sebagai LSD, lysergic acid diethylamide zat halusinogen yang bekerja dengan cara merangsang produksi serotonin, reseptor yang dapat membantu memvisualisasikan dan menafsirkan dunia dengan cara yang berbeda. Mabuk Kepayang bukan namanya?
Atau mungkin juga, kondisi pra hipoksia di otak manusia akibat kerja Sianida memantik consciousness shifting ke arah default mode network yang digawangi oleh korteks prefrontal medial, korteks singulata, prekuneus, hipokampus, dan lobus parietal interior. Hingga pikiran kita jadi melayang, visi masa depan terbayang, kerja kognitif kreatif semakin imajinatif, dan banyak persoalan hidup menemukan kerangka penyelesaian inovatif nan solutif.
Di dalam sel, termasuk sel neuron di otak, sianida akan menempel pada metaloenzim dan menjadikannya tidak aktif. Gejala keracunan muncul setelah adanya inaktivasi sitokrom oksidase (pada sitokrom A3), sehingga melepaskan fosforilasi oksidatif mitokondria dan menghambat respirasi sel, terjadilah kondisi pra hipoksia.
Jika memang Kepayang memiliki efek sebagaimana LSD ataupun morfin dan mampu mendorong peningkatan sekresi serotonin, selain memiliki fraksi umami, tentulah amat beralasan jika ekstrak biji Kepayang menjadi “senjata biologi” rahasia Nusantara. Bahkan sebagian ahli kuliner dunia menyebut Keluwek ini sebagai black truffle from the east, dimata mereka nilainya tak kalah berharga dengan jamur truffle istimewa dari daerah Tuscany Italia.
Maka di Tana Toraja paleak atau daging buah Kepayang dan kolona selaput bijinya dikonsumsi sebagai sayur. Sedangkan inti biji yang berwarna putih diolah dengan cara dihaluskan dan difermentasi serta dikeringkan hingga menjadi hitam pekat kaya akan asam lemak tidak jenuh seperti asam hidrokarpat. Nama zat hitam ini adalah Tollo Pammarrasan, penyedap rasa multiguna dengan sensasi rasa tiada dua.
Sedangkan di Kalimantan Utara, kepayang diolah menjadi sejenis terasi yang memiliki cita rasa umami luar biasa. Masyarakat suku Dayak Kayan, menyebutnya kepayang kaze, terasi nabati asli Kalimantan yang kerap digunakan dalam mengolah berbagai masakan. Termasuk sambal jaung petai.
Bahan yang digunakan untuk membuat sambal jaung petai adalah jaung/kecombrang, petai, cabai rawit, tomat, bawang merah, bawang putih, bawang rumput, garam, gula, dan kepayang kaze. Bersama dengan cabai rawit, umbi bawang dihaluskan semua, kecuali bawang rumput yang cukup diiris kasar. Bagian kecombrang yang digunakan adalah seluruh kuncup bunganya, lalu campur dengan kepayang kaze. Setiap colek sambal ini akan membuat siapapun yang memakannya akan merasa terbang melayang ke langit ketujuh.
Lalu bagaimana kita dapat mengenali rupa pohon ini, dan juga buah serta bijinya? Data dari blog Alam Endah memberikan gambaran morfologi Pangium edule yang cukup komprehensif, sebagai berikut;
Pohon kepayang atau kluwek (Pangium edule) berbatang lurus yang tingginya mampu mencapai 60 meter dengan diameter batang mencapai 120 cm. Percabangannya tidak terlalu rapat. Daunnya berbentuk jantung, dengan lebar 15 cm. dan panjang 20 cm. berwarna hijau gelap dan mengkilap di bagian atas, sementara bagian bawahnya agak keputihan dan sedikit berbulu.
Bunga kepayang atau kluwek (Pangium edule) tumbuh di pucuk ranting, berwarna putih kehijauan, mirip dengan bunga pepaya. Buah kepayang berbentuk lonjong dengan bagian ujung dan pangkal meruncing, berukuran panjang 30 cm dan lebar 20 cm. Bentuk buah kepayang mirip bola rugby atau American Football. Warna kulit buah cokelat, dengan permukaan agak berbulu.
Daging buah putih dan lunak. Biji kepayang bertempurung, berbentuk asimetris, dengan ukuran 3–4 cm. Tempurung biji bertekstur dengan warna cokelat kehitaman. Ketebalan tempurung antara 3 sd. 4 mm. dan sangat keras. Daging biji berwarna sangat putih.
Tanaman ini tumbuh di hutan hujan tropika basah dan merupakan tanaman asli yang tumbuh mulai dari Asia Tenggara hingga Pasifik Barat, termasuk di Indonesia. Kepayang yang merupakan anggota famili Flacourtiaceae mampu tumbuh di daerah dataran rendah hingga ketinggian 1.500 m dpl.
Maka setelah kita melihat berbagai manfaat dan potensi psikobiologis buah pemantik kondisi mabuk kepayang tersebut, tentu ada baiknya jika kita lebih banyak lagi mempelajari, membudidaya, dan mengoptimasi pemanfaatannya dengan bantuan teknologi yang kini sudah banyak kita kuasai. Kita jadikan Keluwek sebagai bagian dari komoditas istimewa, aset bangsa, dan bagian dari konstruksi keunggulan nasional yang dapat meningkatkan daya saing bangsa dalam konteks ketahanan semesta.
Kepayang alias Keluwek dapat menjadi game changer Indonesia melalui berbagai skenario dan cara. Bisa melalui diplomasi kuliner, bisa juga melalui strategi optimasi sumber daya manusia melalui pendekatan baru yang dapat dinamai NUTRIPSI GENOMIK.