Komunikasi Kesejahteraan
Tauhid Nur Azhar
Sejak beberapa waktu lalu saya banyak belajar dari Dr Catur Nugroho, seorang dosen prodi Komunikasi Fakultas Komunikasi dan Bisnis Telkom University.
Banyak hal menarik yang terungkap dari perspektif Dr Catur Nugroho yang kerap dipanggil akrab rekan-rekannya sebagai “Pak Lek” atau Paman dalam bahasa Jawa itu dalam menganalisis Indonesia, negeri kami yang amat kami cintai.
Banyak percakapan kami di ruang virtual terkait dengan negeri dinamis yang menjadi kampung kami. Punya banyak potensi, sekaligus mengundang banyak tantangan untuk merajut masa depan sesuai dengan harapan agar tak hanya abadi sebagai bagian dari angan.
Menggantang asa, demikian celetuk Pak Lek Doktor Catur yang orangnya mellow dan romantis. Yang mbrebes mili saat lulus sidang doktoral karena teringat almarhum Ayahanda yang telah menitipkan mimpinya pada Catur kecil sebagai penyambung cita-cita yang terhalang oleh barrier tak kasat mata.
Pak Lek Doktor banyak berkutat di dua ranah utama, komunikasi digital dan politik. Unik dan menarik karena kajian beliau itu cantik dan ciamik. Teori dan praktik dijembar hingga saling tarik menarik seperti apel dan gravitasi.
Pagi ini saya ingin memantik Pak Lek Doktor menyimpang dari orbitnya yang selama ini dijalani sesuai pakem dan pakelirannya. Saya ingin mengajak beliau menjadi pakar komunikasi kesejahteraan, karena sejahtera itu persepsi, dan membangun persepsi itu soal komunikasi.
Baru setelah itu memori, perspektif, dan preferensi akan bekerja mengolahnya menjadi keyakinan diri dalam konteks self awareness, empati, positioning, dan pengembangan model relasi.
Relasi kuasa terkait hasrat kerap kali berhulu dari persepsi kesadaran yang kemudian akan bermuara pada estuaria motif yang berisi sekumpulan limbah anak sungai yang dominan berisi luapan banjir kemarahan dan kekecewaan.
Karena marah dan kecewa sebenarnya adalah mekanisme neurobiologi jamak yang semestinya memang harus hadir dalam situasi emosi yang tanak. Kalau tidak muncul malah gosong dan bagian bawah menjadi kerak.
Kerak-kerak jiwa inilah yang dalam kajian psikoanalisisnya Sigmund Freud disebabkan oleh akumulasi rasa frustrasi dan konflik yang terjadi pada fase-fase tertentu yang akan mempengaruhi kepribadian seseorang pada saat beranjak dewasa. Dimana kondisi tersebut akan mengakibatkan 2 hal yang disebut: Fixation (perasaan yang mendalam) dan Regression.
Mbah Freud juga mengatakan bahwa struktur jiwa manusia itu memiliki tiga tingkatan kesadaran, yaitu sadar (conscious), prasadar (preconscious), dan tak-sadar (unconscious). Maka kerak karena emosi tak tanak dapat tersimpan di ketiganya dan agak repot jika mengendap di lapis tak sadar yang terletak paling dalam.
Sementara soal persepsi piturut Robbins (2003) adalah suatu proses yang ditempuh individu untuk mengorganisasi dan menafsirkan kesan-kesan indera mereka agar memberikan makna bagi lingkungan mereka.
Sementara menurut Kotler dan Keller, persepsi adalah proses dimana kita memilih, mengatur, dan menerjemahkan masukan informasi untuk menciptakan gambaran dunia yang berarti.
Sementara menurut Sumanto, persepsi adalah proses pemahaman atau pemberian makna atas suatu informasi terhadap stimulus. Stimulus diperoleh dari respon terhadap objek, peristiwa, atau hubungan.
Intinya persepsi adalah tafsir terhadap pengalaman inderawi yang berkelindan dengan memori dan menjadi bagian emosi serta turut menentukan preferensi dalam sistem pengambilan keputusan yang diinisiasi oleh fungsi eksekutif otak yang kata Wikipedia berfungsi sebagai berikut:
conducted basic cognitive processes such as attentional control, cognitive inhibition, inhibitory control, working memory, and cognitive flexibility.
Di dalamnya ada peran korteks dorsolateral di lobus prefrontal yang terlibat dalam proses komunikasi, penalaran, imajinasi/pemikiran abstrak, konstruksi solusi, dan langkah strategis berupa perencaan dan penelaahan kondisi.
Lalu ada peran korteks singulata anterior yang mengintegrasikan pengalaman dan emosi yang menjadi bagian dari motif respon yang merupakan bagian dari sistem pengambilan keputusan.
Kemudian ada korteks orbitofrontal yang memegang kendali diri dalam konteks relasi sosial dan mengevaluasi berbagai pengalaman emosional yang turut menentukan respon atau keputusan yang akan diambil.
Keberadaan reseptor Cannabinoid 1 di area neokorteks turut menentukan persepsi kesadaran, dan pada gilirannya tentu menjadi perancah bagi konstruksi motif dalam sistem pengambilan keputusan.
Maka konsep sejahtera itu terkait komunikasi bukan? Karena jelas tolok ukurnya dibangun melalui sistem persepsi. Menurut Pigou (1960) teori ekonomi kesejahteraan adalah bagian dari kesejahteraan sosial yang dapat dikaitkan secara langsung maupun tidak langsung dengan pengukuran uang. Kesejahteraan dapat didekati berdasarkan dua hal yaitu: (1) kesejahteraan subjektif dan (2) kesejahteraan objektif.
Sedangkan menurut Hatta, kesejahteraan adalah peran hidup seseorang yang sederajat lebih tinggi dari kebahagiaan. Seseorang merasa hidupnya sejahtera apabila merasa bahagia, merasa tercukupi terhadap apa yang mungkin sudah dicapai dalam batasan hidupnya.
Sekali lagi kedua pendapat tentang kesejahteraan di atas adalah soal persepsi bukan ? Dan persepsi itu dibangun oleh komunikasi. Jadi sudah selayaknya jika Pak Lek Doktor mulai mengintroduksi kepada publik Komunikasi Kesejahteraan atau setidaknya Neurokomunikasi yang nantinya dapat berkembang ke arah komunikasi politik dll.
Kembali kepada konsep sejahtera di negeri kami, elok kiranya jika tolok ukur kuantitatif berupa data tentang potensi beragam sumber daya yang secara asumtif terasosiasi dengan kesejahteraan objektif kita babar jembar di sini.
Indonesia dengan 279.013.260 juta jiwa penduduk yang tersebar di 17.504 pulau adalah negara heterogen dengan tingkat keragaman demografi sangat tinggi. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Sensus Penduduk (SP) tahun 2010 Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa, lebih tepatnya, Indonesia memiliki 1.340 suku bangsa di Tanah Air, dan berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, (Kemendikbud Ristek) terdapat 718 bahasa yang tersebar di tanah air.
Kekayaan alam dan sumber dayanya amat beragam dan potensial. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per Mei 2023, cadangan gas alam Indonesia mencapai 54,83 TCF atau trillion square cubic feet/TSCF. Sedangkan cadangan minyak bumi diperkirakan masih ada sekitar 3,6 milyar barel.
Komoditas bahan tambang terkait energi lainnya adalah batubara. Menurut data Kementerian ESDM, pada akhir 2022 Indonesia memiliki cadangan batu bara terverifikasi sebesar 33,37 miliar ton. Sedangkan Indonesia memiliki Potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) yang cukup besar diantaranya, mini/micro hydro sebesar 450 MW, Biomass 50 GW, energi surya 4,80 kWh/m2/hari, energi angin 3–6 m/det dan energi nuklir 3 GW. Total potensi energi baru dan terbarukan yang dapat dikembangkan di Indonesia mencapai 3.868 giga watt (GW). Sementara dari hasil pemanfaatan energi panas bumi di gunung Salak, Wayang Windu, dan Darajat oleh Star Energi Geothermal saja sudah mampu memanen sekitar 868 Mw.
Dari aspek komoditas Agri, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Indonesia memproduksi kelapa sawit sebanyak 45,58 juta ton pada 2022. Meski produksi kakao tahun 2022 diprediksi mencapai 706 ribu ton, dan ahun 2023 turun -1,94% menjadi 692 ribu ton, tetap saja Indonesia adalah salah satu produsen komoditas coklat besar dunia.
Di aspek kemaritiman Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melaporkan bahwa produksi perikanan Indonesia di tahun 2023 mencapai 24,74 juta ton, dan rasio ekspor ikan dari hasil perikanan yang diterima oleh negara tujuan ekspor sebesar 99,84% sampai dengan akhir 2023.
Di sektor riil, nilai ekspor Indonesia pada tahun 2023 tercatat sebesar USD258,82 miliar, sedikit di bawah capaian ekspor tahun 2022 sebesar USD291,90 miliar.
Sementara dari ranah pendidikan data terakhir yang dicuplik dari 279 juta penduduk Indonesia, 6,41% mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. dengan , D1 dan D2 0,41%, D3 sejumlah 1,28%, S1 sejumlah 4,39%, S2 sejumlah 0,31%, dan hanya 0,02% penduduk yang sudah mengenyam pendidikan jenjang S3.
Komunikasi Kesejahteraan atau Welfare Communication menjadi krusial karena dapat menjadi faktor perekat elemen bangsa yang cukup heterogen dan memiliki potensi konflik di saat terjadi berbagai irisan kepentingan.
Komunikasi kesejahteraan dapat menjadi genre baru dalam sub disiplin komunikasi politik yang kita kenal saat ini. Dimana berbagai teori komunikasi politik berkaitan erat dengan aspek keterwakilan berbagai golongan dan kelompok kepentingan dalam suatu sistem bernegara. Berikut adalah beberapa teori yang relevan:
1. Teori Pluralisme Teori ini menekankan pentingnya pluralisme dalam masyarakat, yang mencakup berbagai kelompok kepentingan dengan pendapat dan tujuan yang berbeda-beda. Komunikasi politik dalam konteks ini berperan sebagai mekanisme untuk mengartikulasikan dan mewakili beragam pandangan dan kepentingan dalam proses pengambilan keputusan.
2. Teori Elitisme Berbeda dengan pluralisme, teori elitisme menekankan dominasi sejumlah kecil elit dalam proses pengambilan keputusan politik. Komunikasi politik dalam konteks ini cenderung menjadi alat yang digunakan oleh elit untuk mempertahankan kekuasaan dan memengaruhi opini publik.
3. Teori Hegemoni Teori ini mengacu pada dominasi budaya atau kekuasaan politik oleh kelompok yang memiliki kepentingan dominan. Komunikasi politik digunakan untuk memperkuat dan mempertahankan hegemoni kelompok yang berkuasa, sementara memarginalkan atau mengabaikan suara-suara yang tidak sejalan.
4. Teori Partisipasi Teori ini menekankan pentingnya partisipasi publik dalam proses politik sebagai sarana untuk memastikan representasi yang lebih inklusif dan demokratis. Komunikasi politik dalam konteks ini fokus pada pemberdayaan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pembuatan keputusan politik dan pengawasan terhadap pemerintah.
5. Teori Representasi Teori ini menyoroti peran komunikasi politik dalam merepresentasikan kepentingan dan aspirasi berbagai kelompok dalam masyarakat kepada para pembuat kebijakan. Representasi yang efektif memastikan bahwa suara semua golongan didengar dan dipertimbangkan dalam proses pembuatan keputusan politik.
Melalui berbagai teori ini, dapat dipahami bagaimana komunikasi politik memainkan peran penting dalam memfasilitasi keterwakilan berbagai golongan dan kelompok kepentingan dalam suatu sistem bernegara.
Konsep ini menempatkan pola interaksi dalam sebentuk asosiasi pengaruh. Komunikasi menjadi bagian dari proses pembentukan persepsi dan sikap manusia. Juga pembentuk opini publik yang mengarahkan suatu keputusan massal berdasar fabrikasi persepsi yang bermuara pada homogenisitas respon (sesuai dengan yang diharapkan).
Sejalan dengan itu opini publik saat ini banyak dipengaruhi oleh teknologi informasi dan komunikasi atau yang juga dikenal sebagai teknologi digital.
Teknologi digital juga memiliki dampak yang kompleks terhadap komunikasi politik, terutama melalui penggunaan algoritma oleh platform media sosial dan mesin pencari. Hal ini dapat menciptakan filter bubble di mana individu hanya terpapar pada sudut pandang dan informasi yang sesuai dengan kepercayaan dan preferensi mereka sendiri.
Dengan demikian penerapan Komunikasi Kesejahteraan dalam konteks pembentukan persepsi dan opini publik dapat memanfaatkan filter bubble yang dibangun berbasis mekanisme neurobiologi persepsi. Sejahtera dan bahagia yang bersifat holistik dan tidak melulu bersifat kuantitatif, melainkan dapat mengakomodir kebutuhan aktual yang berangkat dari persepsi rasional yang bersifat clarity.
Bukan sekedar pembentukan opini dan agenda setting yang ditujukan untuk mengakomodir kepentingan kelompok yang berorientasi pada tujuan-tujuan sesaat yang berorientasi sempit (narrow orientation) dan berfokus pada tujuan-tujuan dangkal (shallow nature).
Maka sambil menyeruput kopi dan memikirkan berbagai centang perenang tarik ulur kepentingan kelompok yang menimbulkan riak-riak konflik di permukaan kolam serupa gelombang transversal yang melebar, lalu berangsur menghilang seiring dengan intensitasnya, ada baiknya kita efektifkan model komunikasi persepsi sejahtera berdasar pada sifat gelombang longitudinal yang merambat dengan arah propagasi tak terpolarisasi hingga dapat fokus menggedor dan menggetarkan area korteks prefrontal otak seperti gelombang suara konsisten menggedor membran timpani di ujung saluran telinga.
Daftar Bacaan Pengaya
Dahl, R. A. (1967). Pluralist Democracy in the United States: Conflict and Consent. Rand McNally.
Mills, C. W. (1956). The Power Elite. Oxford University Press.Pareto, V. (1935). The Mind and Society. Harcourt, Brace & Company.
Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. International Publishers.Hall, S. (1986). “Gramsci’s Relevance for the Study of Race and Ethnicity.” Journal of Communication Inquiry, 10(2), 5–27.
Verba, S., & Nie, N. H. (1972). Participation in America: Political Democracy and Social Equality. Harper & Row.Fishkin, J. S. (1995). The Voice of the People: Public Opinion and Democracy. Yale University Press.
Pitkin, H. F. (1967). The Concept of Representation. University of California Press.Manin, B., Przeworski, A., & Stokes, S. C. (1999). Democracy, Accountability, and Representation. Cambridge University Press.
Chadwick, A. (2017). The Hybrid Media System: Politics and Power. Oxford University Press.
Bennett, W. L., & Segerberg, A. (2012). The Logic of Connective Action: Digital Media and the Personalization of Contentious Politics. Information, Communication & Society, 15(5), 739–768.
Tufekci, Z. (2017). Twitter and Tear Gas: The Power and Fragility of Networked Protest. Yale University Press.
Howard, P. N., & Hussain, M. M. (2013). Democracy’s Fourth Wave? Digital Media and the Arab Spring. Oxford University Press.