Garuda Selalu Di Dadaku

sendy ardiansyah
8 min readJan 29, 2024

--

Tauhid Nur Azhar

Photo by Fasyah Halim on Unsplash

Pagi itu Schipol dikepung kabut tipis dan suhu dingin yang membekukan, A330–300 Garuda Indonesia yang saya tumpangi dari Soekarno Hatta baru saja berhenti sempurna di parking stand yang telah ditentukan. Banyak penumpang telah berdiri dan mempersiapkan bagasi kabinnya untuk dibawa turun. Sebagian di antaranya mengeluarkan sweater, mantel, jaket, dan juga over coat untuk mengantisipasi sergapan cuaca dingin yang telah menanti di anjung kedatangan (arrival hall). Saat itulah lamat-lamat terdengar alunan orkestra Adhie MS yang didominasi oleh seksi string melantunkan sebuah komposisi Ibu Saridjah Nioeng alias Ibu Soed mengisi ruang-ruang udara di kabin Garuda. Tak terasa dan tak kuasa melelehlah air mata, seolah tanah air yang baru ditinggalkan sejauh 16 jam penerbangan telah memanggil-manggil dengan segenap kerinduan yang memuncak.

Pada saat itulah saya merasa bahwa kabin Garuda adalah rumah. Adalah perpanjangan tanah air yang selamanya akan saya cinta. Rasa itu yang saya bawa saat mulai melangkah di garbarata. Meninggalkan Garuda Indonesia adalah meninggalkan rumah. Dan memasuki kabin Garuda Indonesia adalah memasuki rumah, pulang. Melabuh rindu pada kehangatan peluk Ibu pertiwi. Selalu begitu yang terjadi saat diri ini meninggalkan negeri dan kembali dengan Garuda Indonesia yang kucinta sepenuh hati ini

Dirgahayu Garuda Indonesia. Maskapai flag carrier yang telah mengangkasa sejak 26 Januari 1949 ini dari jembatan udara perjuangan yang dibangun dengan semangat kolaborasi dan partisipasi aktif rakyat Indonesia, khususnya rakyat Aceh yang menyumbangkan pesawat DC 3 Dakota yang dinamai Seulawah atau gunung emas, perjalanan maskapai kebanggaan kita ini telah memasuki fase krusial ke pelayanan transportasi udara sebagai airline modern yang diperkuat oleh armada canggih yang didukung oleh kapasitas sumber daya manusia yang mumpuni.

Pada awal masa berdiri dan beroperasinya Garuda Indonesia adalah kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan Koninklijke Luchtvaart Maatschappij (KLM), yang merupakan maskapai Belanda yang kemudian semua saham Garuda dimiliki melalui mekanisme buy back oleh Indonesia pada tahun 1953.

Pada tahun 1953 juga, Garuda Indonesia telah berhasil memiliki 27 pesawat berserta staf-staf profesional.

Perkembangan penyedia jasa penerbangan Garuda Indonesia semakin meningkat. Pada tahun 1960-an, Garuda Indonesia mendatangkan tiga pesawat turboprop Lockheed L-188C Electra seiring dengan dibuka-nya rute penerbangan baru ke Hong Kong. Beberapa tahun kemudian, Garuda kembali mendatangkan tiga pesawat baru jenis Convair 990A yang merupakan pesawat yang memiliki kecepatan tinggi dengan teknologi canggih. Dengan pesawat baru ini, Garuda kembali membuka rute penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam melewati Kolombo, Bombay, Roma, dan Praha. Tak berhenti sampai di sana, pada tahun 1966, Garuda kembali mendatangkan pesawat jet baru, yaitu Douglas DC-8 dan membeli beberapa pesawat turboprop baru, Fokker F27 guna melayani penerbangan domestik.

Pada awal tahun 1970-an Garuda kembali memperkuat armada-nya dengan membeli beberapa jenis narrow-body jet yaitu McDonnell-Douglas DC-9 dan Fokker F28 serta pesawat jenis turboprop Fokker F27 guna mendukung penerbangan domestik. Kemudian pada tahun 1973, guna memenuhi penerbangan internasional, seperti tujuan Eropa, Asia dan Australia, Garuda kembali mengirim pesawat McDonnell Douglas DC-10–30 dan Douglas DC-8. Selanjutnya untuk penerbangan ke Eropa dan Amerika Serikat Garuda mengoperasikan Boeing 747–2U3B baru-nya.

Pada tahun 1990-an terjadi musibah yang menimpa maskapai andalan Indonesia ini. Bencana pertama terjadi pada tanggal 13 Juni 1996 saat pesawat dari Fukuoka, Jepang menuju Jakarta. Awalnya saat pesawat hendak lepas landas, kipas turbin depan mesin pecah dan terpisah dari poros mesin sehingga mengakibatkan pesawat meledak dan terbakar saat kru mencoba menghentikan pesawat. Peristiwa ini menewaskan 3 dari 275 penumpang. Peristiwa lainnya terjadi pada tanggal 26 September 1997 saat pesawat Airbus A300-B4 yang jatuh di Desa Buah Nabar, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Dalam peristiwa seluruh penumpang yang berjumlah 222 orang dan 12 awak tewas seketika. Ini merupakan kecelakaan pesawat terbesar dalam sejarah penerbangan Indonesia. Karena dua peristiwa tersebut membuat maskapai kesulitan ekonomi. Hal ini ditambah dengan dampak Krisis Finansial Asia yang sedang dialami Indonesia membuat Garuda sama sekali tidak melakukan penerbangan ke Eropa maupun Amerika. Untungnya, pada pertengahan tahun 2000 Garuda dapat mengatasi masalah keuangan-nya dengan baik.

Pada tahun 2000, Garuda membentuk anak perusahaan yang bernama Citilink yang menawarkan penerbangan dengan biaya murah ke kota-kota di Indonesia. Dengan adanya peristiwa-peristiwa nasional yang terjadi, seperti Serangan 11 September 2001, Bom Bali I dan Bom Bali II, wabah SARS, dan Bencana Tsunami Aceh 26 Desember 2004 serta peristiwa jatuhnya sebuah Boeing 737 di Yogyakarta berdampak masalah keuangan kembali terjadi di pihak Garuda. Hal ini diperparah dengan sanksi Uni Eropa yang melarang semua pesawat maskapai Indonesia menerbangi rute Eropa.

Pada awalnya Republik Indonesia yang baru lahir pada 17 Agustus 1945, membutuhkan alat angkut udara sipil yang menjadi salah satu moda penghubung utama negara kepulauan.

Lalu pada 16 Juni 1948, saat Presiden Soekarno melakukan lawatannya ke Aceh, Soekarno berorasi dan membangkitkan jiwa nasionalisme rakyat Aceh.

Semangat rakyat Aceh yang menggelora pada gilirannya membuat mereka begitu bersemangat untuk menyumbangkan sebagian hartanya. Dari hasil penghimpunan dana itu terkumpul sumbangan setara dengan 20 kilogram emas murni dan 120.000 dollar Singapura. Uang ini kemudian digunakan untuk membeli sebuah pesawat Dakota DC-3 yang dinamakan Dakota RI-001 Seulawah.

Salah satu saksi hidup peristiwa tersebut adalah Nyak Sandang yang ayahnya turut menyerahkan 40 batang pohon kelapa dan 10 gram emas pusaka keluarga mereka.

Pesawat Douglas DC-3 mulai diproduksi pabriknya Douglas Aircraft Company tahun 1935, dengan uji terbang akhir tahun itu dan mulai dioperasikan tahun 1936. DC-3 merupakan penyempurnaan pesawat pendahulunya DC-1 dan DC-2. Yang pertama mengoperasikan DC-3 adalah American Airlines juga sebagai pencetus ide. Pesawat pertama itu kemudian dioperasikan oleh militer, selanjutnya jatuh dan terbakar pada 15 Oktober 1942 di Knob Noster, Missouri, Amerika Serikat. Kecelakaan fatal terjadi pada Desember 1936, DC-3 United Airlines jatuh di San Francisco menewaskan 21 penumpangnya.

Populasinya sampai tahun 1946 saat produksi dihentikan 10.629 pesawat, tersebar di seluruh belahan dunia. Lebih 50 tahun DC-3 masih dioperasikan komersial oleh berbagai maskapai di dunia. Comair sampai 1989 masih mengoperasikan DC-3. Pada Juni 1989, Provincetown-Boston Airlines masih menerbangkan DC-3 yang airframe-nya memiliki 92.000 jam.

DC-3 atau Dakota Seulawah yang dibeli dari sumbangan rakyat Aceh memiliki panjang badan 19,66 meter dan rentang sayap 28.96 m, ditenagai dua mesin Pratt & Whitney berbobot 8.030 kg serta mampu terbang dengan kecepatan maksimum 346 km/jam. Dengan bahan bakar penuh, Dakota mampu terbang sejauh 2.430 km.

Pengalaman saya pribadi yang begitu berkesan dengan Garuda Indonesia terjadi di tahun 80an. Saat itu saya yang mengikuti penugasan orangtua di pedalaman Sulawesi Utara, kerap menggunakan jasa Garuda Indonesia untuk perjalanan ke pulau Jawa dengan transit di bandara Hasanudin Mandai Makassar.

Saat itu armada Garuda Indonesia untuk penerbangan domestik, didominasi oleh pesawat DC 9 Mc Donnel Douglas yang legendaris, dan Fokker F-28 buatan Belanda.

Livery nya adalah livery cantik dengan 3 warna utama: merah, putih, dan oranye, dengan radar dome berwarna hitam. Gagah sekali.

DC 9 Mc Donnel Douglas yang digunakan oleh Garuda Indonesia DC-9 merupakan desain baru, menggunakan dua mesin turbofan Pratt & Whitney JT8D di fuselage belakang dan menjadi pesawa ekor T yang kecil dengan sayap efisien. Dalam konfigurasi yang umum digunakan, keluarga DC-9 lebih sering menggunakan susunan kursi 5 kolom daripada susunan 6 kolom yang biasa digunakan pesawat lain.

Prototipe dari DC-9 terbang pada bulan Februari 1965 digunakan pertamakali oleh Delta Air Lines pada tahun yang sama. Pesawat ini merupakan pesawat kelas menengah yang sukses dibangun sebanyak 976 pesawat hingga produksinya diakhiri pada tahun 1982.

Pada tahun 1980 diperkenalkan seri MD-80 (DC-9–80) yang merupakan DC-9–50 yang diperpanjang dengan maximum take-off weight (MTOW) yang lebih besar dan kemampuan membawa bahan bakar lebih banyak. Seri MD-80 dikembangkan menjadi seri MD-90 yang dikembangkan pada awal 1990. Varian terkhirnya adalah MD-95 yang namanya diubah menjadi Boeing 717–200 setelah McDonell Douglas merger dengan Boeing pada tahun 1997.

Sejarah panjang DC-9 yang dioperasikan Garuda Indonesia, selain telah melahirkan banyak kenangan manis dari rindu yang terajut menjadi cerita syahdu dalam setiap momen temu, juga telah mencatat sejarah terkait beberapa peristiwa duka.

Salah satunya adalah kisah tentang pembajakan pesawat DC-9 Woyla yang kemudian mendarat di bandara Don Muang Bangkok dan proses pembebasan sandera yang dipimpin oleh Letkol TNI Sintong Panjaitan (pada waktu itu, dan pensiun sebagai Letnan Jenderal TNI) berhasil dengan baik, meski ada korban jiwa, yaitu Kapten Penerbang Herman Rante dan Letnan Ahmad Kirang dari pasukan anti teror Komando Pasukan Sandhi Yudha atau Kopassandha yang kini kita kenal sebagai Kopassus.

Pembajakan pesawat DC9 PK GNJ Woyla itu terjadi pada 29 Maret 1981. Setelah kejadian PK GNJ berganti nama menjadi Porong. Pada saat itu nama-nama pesawat DC9 Garuda Indonesia diambil dari nama sungai yang ada di Nusantara.

Selain peristiwa pembajakan Woyla, ada beberapa peristiwa yang tercatat pernah dialami oleh DC9 Garuda Indonesia selama tugas aktifnya.

Pesawat yang dikenal sangat disukai oleh para penerbang dan penumpang ini pernah beberapa kali mengalami insiden, meski secara keseluruhan, performanya sangat mumpuni dan sebagai produk aviasi, sangat berhasil.

Adapun beberapa insiden dan accident yang pernah dialami oleh DC 9 saat beroperasi di Indonesia antara lain adalah;

PK-GND “Brantas” melakukan hard landing di Bandara Syamsudin Noor, Banjarmasin pada tanggal 13 Januari 1980. Pesawat total lost tapi tanpa korban jiwa.

PK-GNJ “Porong” mendarat darurat akibat kerusakan mesin pada tanggal 20 September 1981. Saat mendarat kedua ban belakang sebelah kiri pecah dan menyebabkan pelek ban mengerus landasan. Seluruh 38 penumpang dan kru pesawat selamat.

PK-GNF “Musi” mengalami insiden saat Gunung Galunggung meletus pada tanggal 6 Mei 1982. Meskipun tidak mengalami mesin mati seperti kasus Boeing 747 British Airways Flight 009, DC-9 “Musi” badannya menjadi hitam dan kaca kokpit buram berbintik-bintik akibat terkena debu Gunung Galunggung.

PK-GNE “Citarum” mengalami kecelakaan dan patah dua saat mendarat di Bandara Kemayoran pada tanggal 11 Juni 1984. Kelima awak pesawat yang sedang melakukan terbang feri selamat.

PK-GNI “Bulungan” pada tanggal 30 Desember 1984, overshoot saat mendarat di Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali patah menjadi tiga bagian tanpa korban jiwa.

PK-GNQ “Pawan” jatuh saat mendarat pada kondisi cuaca buruk dan terbakar di Bandara Polonia serta menewaskan 26 penumpang plus 19 korban luka berat pada tanggal 4 April 1987.

PK-GNV “Seputih” rute Denpasar-Yogyakarta tergelincir di Bandara Adisucipto pada tanggal 23 November 1992. Pesawat ini berhasil berhenti setelah menabrak tanggul tanah sekitar 20 meter dari pinggiran sungai.

PK-GNT “Bebai” pada tanggal 21 Juni 1993 melakukan hard landing di Bandara Internasional Ngurai Rai, seluruh penumpang dan awak pesawat selamat.

PK-GNP “Digul” yang dioperasikan MNA tergelincir di Bandara Adisucipto pada tanggal 9 Desember 1994, tanpa korban jiwa.

DC 9 Porong yang sebelumnya bernama Woyla mungkin adalah salah satu pesawat yang mengalami dua kali kondisi tak terduga. Pesawat tipe DC-9–32 memiliki spesifikasi rentang sayap sepanjang 28,5 meter, tinggi 8,4 meter, berat kosong 24,005 ton, maximum take off weight/ MTOW 48,98 ton, kecepatan jelata 789 km/jam, ketinggian jelajah 33.000 kaki, jangkauan maksimal 2036 km, dengan propulsi utama JT8D turbofans dari Pratt and Whitney dengan static trust 6350 kg. Kapasitas kargo DC9–32 seperti milik Garuda Indonesia adalah 1547 kg.

Dalam tulisan kali ini saya ingin bernostalgia tentang Garuda yang menemani masa kecil saya menjangkau banyak sudut negeri di pelosok Nusantara. Dan DC 9 dengan Kapten Jacky yang menjadi idola masa kecil saya, sedikit banyak telah membentuk saya hari ini.

Rasa cinta tanah air, curiosity tentang geo&bio diversity, juga tentang teknologi aviasi, lahir dari kabin-kabin berbagai jenis pesawat Garuda. Garuda telah menjadi rahim bagi lahirnya semangat cendekia dan kecendawanan pikir yang menjamur seiring dengan oportunitas yang terbuka karena terhubungnya jalur caraka udara negeri tercinta dengan manca negara. Garuda selalu hadir untuk Indonesia dan dunia. Terbanglah terus Garudaku, karena ke mana pun aku pergi denganmu, kau dan Indonesia selalu ada di dadaku.

--

--

sendy ardiansyah
sendy ardiansyah

No responses yet