Falling in love is fighting for the nation
Tauhid Nur Azhar
The wisdom of the archipelago has long been a topic of conversation among various nations scattered across the globe. For centuries, it has not only been about spices, camphor, and sandalwood that gained worldwide recognition. It is also about shipbuilding, navigation, and the richness of Nusantara culture that has captivated the world.
And in this ancestral land, nestled between two oceans and continents, various noble works of thought have emerged, documented as references to the wisdom represented in the realm of literature and traditional Nusantara traditions.
One of them is the wisdom in interpreting human relationships in the context of micro and macrocosmic repositioning through a journey across dimensions from material to the essence of nature. The exploration of love or the biopsychological encounter between two individuals of different genders is one of the main subjects that serves as a tool to achieve true meaning.
There are many references to explore, but this time we will discuss the contents of Serat Centhini. Serat Centhini or Suluk Tambangraras is a Javanese literary work written in Javanese script (using the Hanacaraka alphabet) in the form of Macapat poetry by three poets from the Kasunanan Surakarta, namely Ranggasutresna, Yasadipura II, and R. Ng. Sastradipura.
This book, completed in 1823, consists of 4,000 pages and is divided into 12 volumes. The content of Serat Centhini encompasses various Javanese policies and wisdom, including procedures, customs, legends, stories, spiritual knowledge, and other knowledge that thrived among the Javanese society in the 16th-17th century.
The book, or Serat Centhini, contains numerous discussions and advice on the wisdom of life with a sufistic nature, delving into the knowledge of truth and the attainment of maqom makrifat, as elaborated in the segment that tells the story of the first 40 nights of Syech Amongrogo’s marriage to Tambangraras.
Tambangraras asked Amongraga to teach him about the knowledge of maqom makrifat or the highest form of knowledge during the forty nights since their marriage.
Tambangraras meminta Amongraga mengajarkan tentang ilmu makrifat atau ilmu yang paling tinggi nilainya di sepanjang empat puluh malam sejak mereka menikah.
Ajaran-ajaran tasawuf hadir mengisi malam demi malam dalam setiap perjumpaan Amongraga dan Tambangraras, hingga pada malam ke-39, Amongraga dan Tambangraras menjadi semakin dekat hingga batas di antara mereka telah hilang tak berbekas.
Di kamar pengantin, angin diam mengembus kandil. Ini malam ketiga puluh sembilan. Di ranjang bidadari, Amongraga dan Tambangraras tidak lagi melihat ketelanjangan masing-masing maupun jarak pemisah mereka. Tidak ada lagi haluan maupun buritan, raib pula garis batas air
Sementara dalam tembang 72, ada fragmen di mana Serat Centhini justru memberikan gambaran yang cukup eksplisit dan cenderung vulgar tentang teknik yang disarankan untuk digunakan sebagai metoda peningkatan kualitas hubungan seksual, sebagai berikut;
Sesungguhnya lah, anakku, rahasia rasa perpindah-pindah di tubuh ronggeng selaras kisaran hari di penanggalan bulan. Jika kamu mau sanggama di hari pertama bulan, mulailah dengan mengecup dahi pasanganmu.
Di hari kedua, cium pusarnya. Di hari ketiga, pijit betisnya. Di hari keempat, lengannya. Di hari kelima, kulum areolanya, dan begitu seterusnya
Meski bagi beberapa cendekiawan, budaya olah asmara Jawa kerap dianggap sebagai representasi chauvinisme yang bias gender, akan tetapi secara objektif mungkin kita dapat mengklasifikannya sebagai bagian dari pendekatan bioantropometri yang mengacu kepada berbagai indikator dan karakter fisiologi yang terkait dengan sistem reproduksi dan endokrinologi.
Karakterisasi antropometri dalam kajian Jawa terkait sub disiplin ilmu olah asmara, dielaborasi dalam ranah yang dikenal sebagai ilmu Katuranggan.
Dalam konteks Katuranggan ini, khazanah kesusasteraan Nusantara, khususnya Jawa, membahasnya dalam banyak kitab rujukan termasuk primbon Lummanakim Adammakna, dan juga tentu saja Centhini.
Dimana dalam rujukan tersebut digambarkan bahwa
perempuan secara katuranggan dapat digambarkan melalui pendekatan watak, sifat, atau tanda-tanda berdasarkan penampakan lahiriahnya.
Dalam konteks budaya dan ilmu katuranggan, terdapat beberapa ciri perempuan yang sebenarnya mungkin saja dalam konteks ilmiah modern, merupakan hasil observasi bermetodologi terhadap berbagai indikator terukur dari aspek biologi, psikologi, dan sosiologi.
Nenek moyang kita dengan jeli telah mengkarakterisasi ciri perempuan sedemikian rinci dan menisbatkan nama untuk menunjukkan letak di kuadran tertentu yang dinilai dari akumulasi ciri, di antaranya ada guntur madu, merica pecah, tasik madu, sri tumurun, puspa megai, surya surup, menjangan ketawan, amurwa tarung, atau mutyara.
Sebagai contoh penjabaran dalam ilmu katuranggan, misal gambaran perempuan bertipe surya sumurup. Perempuan surya sumurup itu memiliki dua lapis bibir yang berwarna merah jambu. Sorot matanya kebiru-biruan. Ada sinom (rambut yang tumbuh di atas dahi) yang menggumpal. Kedua alisnya nanggal sepisan (laksana bulan sabit).
Perempuan yang tergolong surya sumurup ini dikelompokkan berdasarkan karakter yang terkait dengan integritas dan loyalitas, yang ditunjukkan dengan adanya kesetiaan yang tak diragukan pada keluarga dan pasangan.
Sepintas saat membaca versi tarjamah dari suluk, serat, ataupun primbon, tak dapat dipungkiri memang ada kesan eksploitatif secara gender. Akan tetapi jika kita dapat menyelami dan membangun perspektif dengan mencoba menembakkan diri dalam bingkai budaya pada masanya, tentulah akan banyak hikmah indah yang akan kita dapati.
Salah satunya adalah makna kasunyatan dari konsep olah asmara Nusantara yang tak hanya berorientasi pada aspek ragawi dan pemenuhan biologi semata.
Atau hanya berfokus pada fungsi reproduksi sebagai bagian dari sifat survivalitas yang sejalan dengan mekanisme evolusi peradaban yang menitik beratkan pada eksistensi ataupun azas keberadaan.
Maka olah asmara dalam beberapa tradisi atau sudut pandang tertentu, hanya identik dengan proses berketurunan dan mempertahankan eksistensi dalam konteks nilai dan populasi.
Olah asmara Jawa tenyata lebih dari itu. Elizabeth Inandiak, peneliti budaya asal Perancis yang kesengsem pada Serat Centhini, justru melihat dan “membaca” bahwa olah asmara dalam Centhini punya konteks lahir bathin yang sangat relevan dengan pendekatan tasawuf dalam pencarian makna dan hakikat kehidupan.
Sangat spiritual dan diharapkan dapat menjadi panduan untuk mengekstraksi berbagi tanda dan simbol semiotika di semesta, melalui proses integrasi analisa dan rasa yang melibatkan raga dan jiwa untuk larut dalam orkestrasi fisiologi yang terintegrasi dengan nilai-nilai hakiki.
Kajian berbasis pendekatan ilmu neurosains seolah mengamini. Meski berbeda nyaris 3 abad, neurosains seolah mengonfirmasi apa yang telah dilakoni dan dipelajari, dan bahkan telah menjadi piwulang dalam tradisi berumah tangga khas Nusantara.
Penelitian neurosains tentang aktivitas olah asmara dan faal orgasme dengan bantuan teknologi terkini seperti positron emission tomography/ PET Scan, functional Magnetic Resonance Imaging/ fMRI dan beberapa teknologi laboratorik penunjang lainnya, telah berhasil memetakan berbagai area otak dan aktivitasnya selama proses hubungan seksual dan tercapainya kondisi orgasme.
Dari berbagai penelitian tersebut didapatkan data yang dapat menggambarkan dinamika perubahan faali di otak secara bertahap, dan sekaligus memetakan area atau daerah mana saja yang terlibat.
Dalam proses pembangkitan gairah seksual, beberapa daerah subkortikal dan kortikal menjadi aktif. Aktivasi amigdala pada rangsangan seksual yang dipicu oleh rangsangan visual dilaporkan terjadi pada perempuan dan laki-laki, dan aktivasi ini dilaporkan lebih besar pada laki-laki. Aktivitas hipokampus dilaporkan meningkat saat gairah seksual pada laki-laki.
Sementara aktivitas otak lainnya pada perempuan dan laki-laki selama terjadinya peningkatan gairah seksual, teridentifikasi terjadi di korteks prefrontal medial, korteks orbitofrontal, dan korteks prefrontal dorsolateral. Di semua area tersebut teridentifikasi peningkatan aktivitas pada saat adanya sexual arrousal.
Data lain yang dirilis oleh Huynh dkk, melaporkan bahwa korteks visual primer dan sekunder menjadi tidak aktif pada perempuan yang menonton film erotis.
Sedangkan daerah otak lain yang dilaporkan aktif selama gairah seksual sebagai respons terhadap rangsangan erotis visual antara lain adalah hipotalamus, korteks singulata anterior, dan insula.
Ortigue dkk melaporkan korelasi antara tingkat aktivasi korteks insular anterior kiri perempuan sebagai respons terhadap presentasi subliminal terkait pasangannya dan kualitas hubungan seksual serta pengalaman orgasme yang dialami secara personal.
Selama orgasme pada laki-laki dan perempuan, terjadi aktivasi di serebelum/otak kecil, girus singulata anterior, dan jalur dopaminergik dari ventral tegmentum area ke nukleus accumbens.
Khusus pada perempuan saat orgasme, peningkatan aktivitas dilaporkan terjadi di hipokampus dan korteks frontalis. Aktivitas amigdala juga dilaporkan meningkat saat orgasme pada perempuan namun menurun saat laki-laki ejakulasi.
Aktivitas lobus temporal pun dilaporkan menurun saat terjadi ejakulasi pada laki-laki, dimana pada saat yang bersamaan terjadi peningkatan aktivitas di girus temporalis medial.
Peningkatan aktivitas selama ejakulasi juga terjadi di korteks orbitofrontal. Sedangkan aktivasi korteks frontalis juga dilaporkan pada perempuan saat mengalami orgasme.
Sedangkan deaktivasi/penonaktifan daerah kortikal di area frontal dilaporkan berdasarkan penelitian PET dan perfusi fMRI pada laki-laki. (Wise NJ dkk, J Sex Med, 2018)
Dari hasil pemindaian otak dalam mekanisme hubungan seksual dan terjadinya orgasme tersebut, diketahui bahwa ada beberapa respon neurosains yang berbeda secara spesifik antara perempuan dan laki-laki.
Perbedaan dari segi fungsional itu antara lain maujud dalam proses terbangkitnya gairah pada perempuan yang lebih didominasi oleh sensasi dan memori yang berelasi dengan romantisme, tinimbang dengan aspek visual yang memantik gairah pada laki-laki.
Wanita dengan aktivitas prefrontal dan hipokampus yang tinggi cenderung terangsang melalui imajinasinya, sementara laki-laki lebih terpengaruh oleh yang dilihat dan dirasakannya secara fisik.
Pada saat perempuan mencapai orgasme, aktivitas hipokampus dan amigdala yang meningkat terkait erat dengan konstruksi dan struktur memori yang kelak di kemudian hari dapat menjadi referensi. Maka pengalaman romantis dan hubungan seksual yang berkualitas amat mempengaruhi perilaku dan kesehatan mental perempuan. Demikian pula aktivitas di area frontal dan prefrontal yang terjadi selama proses mencapai orgasme, dapat diasumsikan berkorelasi dengan peningkatan kapasitas di area-area tersebut. Dengan kata lain, hubungan seksual atau orgasme yang berkualitas mungkin sekali berasosiasi dengan kualitas, kapasitas, dan kapabilitas intelektual dan mental perempuan.
Sementara bagi laki-laki juga sama, dengan penekanan lebih pada konsep membangun penilaian diri, rilis tekanan yang bersifat rekreasional, dan juga proses pengelolaan kapasitas kognisi terkait dengan konsep eksistensi atau keberadaan. Inaktivasi temporal saat orgasme dapat diasosiasikan dengan upaya mereduksi derau lingkungan hingga laki-laki lebih dapat berkontemplasi ke dalam diri.
Tentu masih banyak elemen yang bisa dielaborasi dalam konteks olah asmara dan fisiologi orgasme ini, misal peran hormon dan neurotransmiter seperti dopamin, endorfin, epinefrin, serotonin, dan tentu saja oksitosin. Ada ledakan kegembiraan, ada rasa damai dan nyaman, dan ada rasa keterikatan dan kepemilikan yang akan bertahan dalam durasi panjang. Yang terakhir tentulah memiliki makna strategis dalam kehidupan pernikahan yang pada gilirannya tentulah akan berkontribusi pada kemaslahatan di ranah pola interaksi sosial di tingkat populasi yang lebih besar.
Peradaban akan terbangun dengan rasa percaya pada nilai kebersamaan yang dilandasi oleh cinta dan rasa saling memiliki yang membuat hidup bernilai dan memiliki arti. Hidup Oksitosin