Dalam Lautan Sebuah Tetesan
Cinta, pikirku, adalah bahasa yang tidak pernah sepenuhnya dipahami, melainkan hanya dirasakan sebagai sebuah intuisi yang mengalir di antara kesadaran dan misteri. Dia datang padaku seperti sebuah metafora yang hidup — lautan yang tersembunyi dalam sebutir air yang rapuh.
Kuamati dia dari jarak yang aneh: terlalu dekat untuk menjadi bayangan, namun terlalu jauh untuk bisa digenggam. Setiap gerak tubuhnya adalah sebuah puisi yang tidak lengkap, setiap hembus napasnya — sebuah rahasia yang tersebar dalam ruang antara yang nyata dan yang imajiner.
Dia adalah paradoks yang berdiam dalam tubuh manusia. Seluas samudra dalam keterbatasan seorang individu, sedalam misteri yang tak terukur dalam sebutir air mata. Ketika dia berbicara, suaranya mengalir seperti air yang menembus celah-celah batu, meninggalkan jejak tanpa merusak.
Mengapa aku mencintainya? Bukan karena kemungkinan untuk memiliki, melainkan karena ketidakmungkinan itu sendiri. Cinta tidak selalu tentang penggenggaman, tetapi tentang pengakuan akan ketakterbatasan yang ada dalam diri manusia. Dia adalah lautan yang kupelajari tanpa berharap untuk sepenuhnya mengerti, sebuah perjalanan tanpa destination, sebuah proses tanpa kesimpulan.
Dan dalam setiap upaya untuk mendekatinya, aku terseret arus — tenggelam bukan dalam arti literal, melainkan dalam pengertian spiritual. Tenggelam adalah bentuk tertinggi dari penyerahan, di mana ego kehilangan batasnya dan melebur dalam ketidakterbatasan.
Dia ada, dan dalam waktu yang sama, tidak ada. Seperti tetesan air yang mengandung seluruh sejarah samudra, dia adalah bukti bahwa yang tak terbatas bisa termuat dalam yang terbatas, bahwa misteri selalu lebih besar daripada upaya manusia untuk menjelaskannya.