BUMIAYU, 2.000.000 SM — 2050
Tauhid Nur Azhar
Peradaban manusia yang menua ini menurut guru saya, Dr Sofwan Noerwidi, yang saat ini menjabat sebagai Kepala Pusat Riset Arkeometri BRIN, berkembang pesat karena “bahasa” dan penemuan api.
Bahasa adalah piranti utama dalam proses interaksi dalam konteks komunikasi yang dapat melahirkan sinergi, juga sisi lain pengembangan potensi manusia yang sebagian di antaranya berangkat dari proses refleksi dan proyeksi sebagaimana yang coba diekstraksi oleh pendekatan theory of mind.
Bahkan Rene Descartes mengusung premis eksistensi yang berkorelasi dengan fungsi pikir sebagai indikator utama konsep hadir. Hadir yang mengejawantah dalam presensi entitas cerdas dengan sikap bernas yang mampu merumuskan persepsi dan mengartikulasikan buah pikir dalam sebentuk gagasan yang sebagian di antaranya diwujudkan dalam sikap, perilaku, karya, dan pesan.
Dalam konteks mengemas pesan dan penyelarasan pemahaman serta kanalisasi persepsi ke dalam paket kesadaran kognisi komunal, bahasa memegang peran teramat seksi.
Maka ilmu tanda, alias semiotika, berpadu mesra dengan pendekatan linguistik yang tentu memerlukan variabel simbolik tematik, baik dalam sebentuk lambang visual ataupun padanan makna dalam bentuk pesan auditorial.
Secara neurosains sendiri, tesis Dr Sofwan Noerwidi tentang peran bahasa, sedikit banyak teramini melalui serangkaian riset anatomi fisiologi yang dengan dibantu teknologi telah berhasil memetakan dan mengidentifikasi beberapa area otak manusia yang terlibat dalam proses pembentukan bahasa.
Dimana proses pembentukan bahasa sampai dengan kemampuan analisa dan konstruksi persepsi berbasis asupan inderawi, serta berbagai pertimbangan bijak yang termanifestasi dalam respon berupa sikap, gagasan, dan reaksi motorok terstruktur, sedikit banyak dibantu melalui aktivitas beberapa area terkait bahasa berikut;
1. Area Pendengaran Primer (Primary Auditory Cortex), terletak di lobus temporal, area ini menerima stimulus auditori dan memproses suara bahasa. Informasi bahasa yang didengar diinterpretasi di sini sebelum dikirim ke area yang lebih tinggi.
2. Area Wernicke, terletak di area temporal posterior, khususnya di sekitar sulcus sylvianus. Area ini terlibat dalam pemahaman bahasa. Kerusakan pada area ini dapat menyebabkan afasia Wernicke, di mana seseorang mungkin bisa menghasilkan kata-kata, tetapi kehilangan kemampuan untuk memahami atau menghasilkan makna yang benar.
3. Area Broca, terletak di daerah frontal otak, khususnya di lobus frontal inferior. Fokus utama area ini adalah produksi bahasa dan perencanaan gerakan otot yang diperlukan untuk bicara. Afasia Broca, yang terjadi ketika area ini rusak, dapat menyebabkan kesulitan dalam merangkai kata-kata dengan benar.
4. Girus Angularis, terletak di lobus parietal, bagian ini terlibat dalam pemahaman makna kata-kata dan kalimat, serta dalam proses pembacaan.
5. Girus Supramarginalis, juga terletak di lobus parietal, terlibat dalam pemahaman dan produksi suara yang tepat, serta pengolahan fonologi.
Bahasa telah menghadirkan eskalasi akselerasi peradaban yang sedemikian luar biasa karena telah memfasilitasi dan mengkatalisa terciptanya konstruksi kolaborasi yang pada gilirannya akan mengakomodasi sifat substitutif, komplementatif, dan kemampuan untuk mengaugmentasi atau memperkaya suatu fungsi.
Manusia dalam sebaran populasi membangun lokus komunikasi berbasis kepentingan dan kesamaan visi, lalu menyebar seperti distribusi cendawan di musim penghujan. Tercipta stratified systemic cluster yang kemudian dilabeli serta berbagai definisi dalam berbagai ranah peradaban yang bermuara pada upaya bersama untuk meningkatkan kualitas kehidupan dengan indikator capaian berupa keselamatan dan kenyamanan.
Maka tak pelak kasunyatan yang secara subtil itu merembes menembus limbic barrier secara halus, akan menggugah rasa penasaran yang amat manusiawi, tentang makna kehadiran dan esensi dari kehidupan.
Pak Sofwan Noerwidi sendiri, bersama Prof Harry Widianto, seniornya di BRIN yang dahulu sebelum validasi organisasi tergabung di Balai Arkeologi Jogja, sejak tahun 2019 telah menindaklanjuti penemuan Pak Jarsono, seorang pelestari fosil di kecamatan Bumiayu.
Dimana pada awal tahun 2019, Pak Karsono telah menemukan 2 bonggol tulang paha (caput femoris) dan satu pecahan tulang diafisis di area sekitaran Kali Bodas. Sebuah sungai intermiten atau periodik yang volume airnya meningkat di musim penghujan dan nyaris kering selama kemarau. Sungai ini terletak di dusun Bledong, sekitar 3 km barat daya kota kecamatan Bumiayu.
Penemuan fosil oleh Pak Karsono ini kemudian ditindaklanjuti oleh penelitian bermetodologi yang diinisiasi oleh Balai Arkeologi Jogjakarta di bawah pimpinan Prof Harry Widianto. Temuan tim antara lain adalah fosil tulang paha, akar gigi, dan rahang dari Homo erectus yang kemudian dinamai sebagai Homo erectus bumiayu.
Fosil tersebut diperkirakan berusia 1,8 juta tahun atau lebih tua 300 ribu tahun dibandingkan Homo erectus yang ditemukan di Sangiran, Jawa Tengah. Adanya perkiraan ini menjadikan penemuan fosil Homo erectus di Bumiayu sebagai manusia tertua di Jawa.
Perkiraan umur fosil Kali Bodas dilakukan dengan melakukan analisis stratigrafi terhadap batuan tempat dimana fosil ditemukan.
Dilakukan pula identifikasi formasi batuan Kali Glagah bagian tengah bawah, dimana ditemukan juga berbagai fosil Homo eretus. Dari penelitian tersebut terkonfirmasi bahwa fosil berasal dari endapan paling bawah formasi Kali Glagah. Kesimpulan diambil setelah ditemukan napal karbonat yang berasal dari endapan Kali Glagah menempel pada fosil yang ditemukan.
Sebenarnya penemuan-penemuan fosil vertebrata di Bumiayu telah dimulai sejak tahun 1920 oleh peneliti Belanda, yaitu: Van Der Maarel dan Von Koenigswald. Salah satu fosil vertebrata di Bumiayu yang telah dipublikasikan adalah fosil kura-kura darat Megalochelys cf. sivalensis.
Hal ini sejalan dengan fakta bahwa Bumiayu dan sebagian sisi barat pulau Jawa adalah daerah yang pertama terangkat dalam proses pembentukan geologis hingga menjadi Jawa yang kita kenal saat ini.
Data paleontologis menunjukkan bahwa penghunian Pulau Jawa diperkirakan sudah berlangsung pada akhir Pliosen, sekitar 2 juta tahun lalu dengan mengacu kepada bukti penemuan gajah purba Archidiskodon di situs-situs Bumiayu.
Bumiayu menjadi sangat istimewa, karena keberadaan jejak tertua akan kehadiran mamalia di Pulau Jawa. Fosil-fosil pertama telah ditemukan selama tahun 1920-an di Formasi Kaliglagah, dan telah diteliti oleh beberapa peneliti seperti H.G Stehlin (1925), F.H van der Maarel (1932), maupun G.H.R Koenigswald (1935).
Fauna-fauna tertua ini ditandai oleh penemuan gajah purba Mastodon sp dan Tetralophodon bumiayuensis, yang berusia sekitar 1,5 juta tahun. Jenis lainnya adalah kuda air Hexaprotodon simplex, rusa purba Cervidae, dan kura-kura raksasa, Geochelon.
Berbagai fauna purba ini menunjukkan adanya fenomena fauna yang miskin spesies karena lingkungan terisolasi, insuler. Hasil-hasil rumusan biostratigrafi ini kemudian direaktualisasi oleh P.Y Sondaar dan John de Vos di tahun 1980-an. Keduanya menyodorkan konsep fauna tertua hingga termuda sebagai Fauna Satir (1,5 juta tahun lalu), Fauna Cisaat (1,2 juta tahun silam), Fauna Trinil HK (1 juta tahun), Fauna Kedungbrubus (0,8 juta tahun), Fauna Punung, dan Fauna Wadjak.
Proses stratigrafi di situs Bumiayu dilakukan antara lain melalui penggunaan metode paleomagnetisme oleh François Sémah pada dekade 1980an. Pengujian dilakukan terutama pada endapan purba di Kaliglagah dan Kali Biuk, yang menghasilkan kepurbaan antara 2,15 hingga 1,67 juta tahun.
Wilayah Bumiayu sendiri memang merupakan daerah pegunungan dan perbuktian yang secara geologi diprakirakan dulunya adalah lautan. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya beberapa fosil fauna laut.
Penemuan fosil Homo erectus bumiayu yang seusia dengan fosil Homo erectus di Afrika, seolah membuka kembali wacana diskusi kritis terhadap teori Out of Africa. Dimana adanya penemuan fosil hominid dan homo di berbagai wilayah dunia yang sejaman dengan fosil-fosil Afrika (terakhir ada penemuan fosil hominid di gua Malapaga Afrika Selatan), seolah memberi fakta baru bagi teori Multi-Regional. Dimana teori yang satu ini meyakini bahwa perkembangan Homo sapiens saat ini tidak semata berasal dari proses evolusi yang diawali oleh peristiwa out of Africa, melainkan dapat terjadi secara paralel di berbagai lokus di berbagai penjuru dunia, yang antara lain ditandai dengan adanya manusia purba Homo neanderthal dari Eropa, Manusia Dminasi (Georgia), Manusia Longgupo (China), dan Manusia Wajak (Tulungagung) serta tentu saja Homo erectus bumiayu yang berusia setara dengan Homo erectus dari Afrika.
Tentu membaca sekilas berbagai fakta terkait fosil dan situs Bumiayu di atas, telah memantik berbagai pertanyaan unik nan nyentrik di benak kita. Data nan ciamik dengan pendekatan bermetodologi yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik itu, pastilah semakin membuat kita penasaran. Bagaimana arkeolog dan geolog serta ilmuwan lintas disiplin lainnya dapat menentukan umur fosil, lini masa geologi dengan periode dan epoch nya? Melihat relasi satu dan lainnya hanya dengan berbekal “sisa” penanda berupa artefak ataupun kondisi geologi dari suatu situs? Ajaib bukan?
Salah satu ilmu yang berkembang dalam konteks sejarah geologi dan pada gilirannya juga tentu saja terkait erat dengan paleontologi adalah stratigrafi. Stratigrafi melibatkan studi tentang susunan, sejarah, dan hubungan relatif antara lapisan-lapisan batuan di bumi. Teori rujukan dalam stratigrafi bergantung pada prinsip-prinsip seperti:
1. Prinsip Superposisi, lapisan batuan yang lebih tua terletak di bawah lapisan yang lebih muda.
2. Prinsip Horisontal Awal, lapisan batuan awalnya terbentuk secara horizontal sebelum adanya deformasi.
3. Prinsip Kesan Fosil yang Sama, lapisan batuan dengan fosil yang serupa dapat dianggap memiliki usia yang mirip.
4. Prinsip Penyebaran Geografis Fosil, fosil-fosil tertentu menyebar di seluruh wilayah seiring waktu, membantu dalam korelasi lapisan batuan di lokasi yang berbeda.
5. Prinsip Lepasnya Fosil, fosil-fosil akan muncul atau lenyap dalam catatan stratigrafi sesuai dengan perubahan waktu.
Referensi utama untuk teori stratigrafi termasuk kontribusi para geolog seperti Nicolas Steno, yang merumuskan prinsip-prinsip stratigrafi pada abad ke-17. Selanjutnya, karya Charles Lyell di abad ke-19 mengembangkan konsep waktu geologi yang panjang, mendukung ide stratigrafi sebagai alat untuk memahami sejarah bumi.
Buku Principles of Geology karya Lyell dan The Stratigraphical Geology karya Amadeus William Grabau merupakan sumber referensi yang membentuk fondasi teori stratigrafi modern. Konsep stratigrafi juga berkembang seiring waktu melalui kontribusi dari para ahli geologi seperti Charles Walcott, Alfred Wegener dll.
Adapun metoda, teknik, dan teknologi yang digunakan dalam stratigrafi, khususnya pengukuran usia dan periode geologi, melibatkan penggunaan beberapa metode radiometrik dan non-radiometrik. Berikut adalah beberapa metode yang telah terstandardisasi dan jamak digunakan,
1. Radiometrik (Metode Radioaktif)
a. Pengukuran Isotop Radiaktif:
- Metode ini menggunakan peluruhan isotop radioaktif tertentu dalam sampel batuan untuk menghitung waktu yang telah berlalu. Contohnya, metode radiokarbon untuk rentang waktu yang lebih pendek dan radiometrik uranium-thorium atau argon-argon untuk rentang waktu yang lebih panjang.
b. Pembentukan Mineral Radioaktif:
- Beberapa mineral tertentu membentuk isotop radioaktif seiring waktu. Misalnya, uranium dalam mineral zircon akan mengalami peluruhan menjadi timah, memungkinkan pengukuran usia batuan.
2. Non-Radiometrik (Metode Non-Radioaktif):
a. Biostratigrafi:
- Menggunakan fosil untuk mengidentifikasi dan membandingkan lapisan batuan di berbagai lokasi. Fosil-fosil tertentu dapat memberikan petunjuk yang jelas tentang periode waktu tertentu.
b. Stratigrafi Korelatif:
- Korelasi lapisan batuan di lokasi yang berbeda dengan menggunakan karakteristik fisik, kimia, atau fosil. Ini membantu dalam menetapkan hubungan waktu antarlokasi.
3. Stratigrafi Magnetik:
- Pada beberapa situs, perubahan polaritas magnetik di dalam batuan dapat digunakan untuk membantu mengidentifikasi dan mengurutkan lapisan batuan.
4. Lapisan Tepi (Varve):
- Dalam lingkungan seperti danau yang berubah musiman, lapisan tahunan yang terbentuk dapat memberikan indikasi waktu yang sangat tepat.
Kombinasi metode ini memungkinkan geolog untuk memperoleh perkiraan usia yang sangat akurat untuk lapisan batuan tertentu dan untuk menetapkan periode geologis yang berbeda. Radiometri umumnya memberikan pengukuran usia yang lebih absolut, sementara metode non-radiometrik membantu dalam pengklasifikasian dan korelasi yang lebih luas antarlokasi.
Secara lebih mendetail kedua metoda tersebut, baik radiometrik maupun non radiometrik dapat dipelajari dalam paparan berikut,
Dalam ranah Metode Radiometrik terdapat beberapa metoda berikut;
1. Pengukuran Isotop Radiaktif:
- Contoh: Radiokarbon Dating (14C)
- Teori:
- Radiokarbon dating berdasarkan peluruhan isotop 14C dalam materi organik. Ketika organisme mati, pemasukan 14C berhenti, dan peluruhan ini digunakan untuk menentukan waktu kematian.
- Referensi:
- Libby, W. F. (1952). “Radiocarbon Dating.” Science, 116(3010), 677–680.
2. Pembentukan Mineral Radioaktif:
- Contoh: Metode Uranium-Thorium
- Teori:
- Mineral zircon mengandung uranium yang pelan-pelan mengalami peluruhan menjadi thorium. Rasio antara uranium dan thorium digunakan untuk menghitung usia batuan.
- Referensi:
- Cheng, H., Edwards, R. L., Hoff, J., Gallup, C. D., Richards, D. A., & Asmerom, Y. (2000). “The half-life of uranium-234 and thorium-230.” Chemical Geology, 169(1–2), 17–33.
Sementara dalam Metode Non-Radiometrik terdapat beberapa metoda sebagai berikut,
1. Biostratigrafi:
- Contoh: Penggunaan fosil amonit sebagai petunjuk zona waktu.
- Teori:
- Fosil-fosil tertentu muncul atau punah pada waktu-waktu tertentu, memungkinkan identifikasi dan korelasi lapisan batuan berdasarkan fosil-fosil ini.
- Referensi:
- Gould, S. J. (1970). “Dollocaris: a new genus of fossil shrimp (Crustacea: Decapoda) from the Upper Jurassic of eastern France.” Journal of Paleontology, 44(5), 154–161.
2. Stratigrafi Magnetik:
- Contoh: Penggunaan pembalikan polaritas magnetik untuk menentukan waktu.
- Teori:
- Perubahan dalam polaritas magnetik tercatat dalam batuan, dan pembandingan ini dapat membantu menentukan urutan waktu lapisan batuan.
- Referensi:
- Opdyke, N. D., & Channell, J. E. T. (1996). “Magnetic stratigraphy.” International Geophysics, 63, 129–194.
3. Lapisan Tepi (Varve):
- Contoh: Pengamatan lapisan tahunan dalam deposit danau.
- Teori:
- Lapisan tahunan membentuk deposit berulang yang dapat dihitung untuk menghasilkan sejarah waktu yang sangat rinci.
- Referensi:
- Schimmelmann, A., Lange, C. B., & Schieber, J. (1999). “Lake-level changes, sedimentary facies, and cyclic deposition in Lakes Baikal and Hovsgol.” Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology, 149(3–4), 261–286.
Dari hasil pengujian dengan berbagai metoda stratigrafi tersebut didapatkanlah periodisasi secara geologi sebagai berikut,
Periode Stratigrafi
1. Paleozoikum:
- Cambrian: 541–485,4 juta tahun yang lalu
- Ordovisium: 485,4–443,8 juta tahun yang lalu
- Silur: 443,8–419,2 juta tahun yang lalu
- Devon: 419,2–358,9 juta tahun yang lalu
- Karbon: 358,9–298,9 juta tahun yang lalu
- Perm: 298,9–252,2 juta tahun yang lalu
2. Mesozoikum
- Trias: 252,2–201,3 juta tahun yang lalu
- Jura: 201,3–145 juta tahun yang lalu
- Kapur: 145–66 juta tahun yang lalu
3. Kenozoikum
- Paleogen:
- Paleosen: 66–56 juta tahun yang lalu
- Eosen: 56–33,9 juta tahun yang lalu
- Oligosen: 33,9–23 juta tahun yang lalu
- Neogen:
- Miosen: 23–5,3 juta tahun yang lalu
- Pliosen: 5,3–2,6 juta tahun yang lalu
- Kuarter:
- Pleistosen: 2,6 juta tahun yang lalu hingga 11,7 ribu tahun yang lalu
- Holosen: 11,7 ribu tahun yang lalu hingga sekarang
Epoch Stratigrafi (dalam Kenozoikum)
1. Paleogen
- Paleosen: 66–56 juta tahun yang lalu
- Eosen: 56–33,9 juta tahun yang lalu
- Oligosen: 33,9–23 juta tahun yang lalu
2. Neogen
- Miosen: 23–5,3 juta tahun yang lalu
- Pliosen: 5,3–2,6 juta tahun yang lalu
3. Kuarter
- Pleistosen: 2,6 juta tahun yang lalu hingga 11,7 ribu tahun yang lalu
- Holosen: 11,7 ribu tahun yang lalu hingga sekarang
Rentang waktu ini memberikan pandangan tentang seberapa jauh ke belakang kita dapat melacak sejarah bumi melalui catatan stratigrafi yang tentu saja terkait dengan sejarah geologi berupa antara lain singkapan muka bumi, pergerakan lempeng, dan proses pembentukan berbagai fenomena alam seperti gunung api purba, benua, dan samudera sebagaimana yang kita kenal saat ini.
Terus menelusur ke area yang membujur di arah timur dari situs Bumiayu, kita akan menjumpai geosite Karang Sambung yang saat ini formasi Melangenya telah menjadi laboratorium alam BRIN. Di sebelah timurnya lagi kita dapat menjumpai formasi Nanggulan. Situs yang menjadi bukti sejarah geologi dari masa Gunungapi Purwa yang menjadi bukti lingkungan pengendapan transisi sebelum Masa Gunungapi Purba di Pulau Jawa.
Formasi Nanggulan menunjukkan lokasi tipe batuan yang merupakan singkapan batubara tertua di pulau Jawa, dimana secara stratigrafi diketahui telah berumur 54–36 juta tahun lalu, atau berasal dari Eosen, yang ditunjukkan oleh keberadaan fosil foraminifera (spesies Nummulites Jogjakartae) dan moluska, serta terdiri dari perselingan batupasir, batu lempung dengan konkresi limonit, batu lanau, dan napal berwarna coklat dengan struktur sedimen perlapisan.
Pada situs formasi Nanggulan ini juga terdapat sisipan lignit berwarna hitam dengan struktur sedimen perlapisan masif dengan tebal 0,5 -1 m.
Situs Formasi Nanggulan Eosen Kalibawang secara administratif terletak di Kalurahan Pendoworejo, Kapanewon Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan letak lokasinya, kawasan ini berada di 7° 44' 8,4'’ LS dan 110° 12' 2,2'’ BT. Kawasan ini berjarak 26 kilometer dari Kota Yogyakarta dan sangat ideal untuk menjadi laboratorium alam bidang Paleontologi dan Batubara.
Formasi Nanggulan sendiri memiliki penyusun yang terdiri dari batu pasir, sisipan lignit, napal pasiran dan batu lempungan dengan konkresi limonit, batu gamping dan tuff, kaya akan fosil foraminifera dan moluska dengan ketebalan 300 m.
Batubara Eosen Nanggulan memiliki tebal berkisar 0,53 meter, dari hasil pengamatan reflektan vitrinit mempunyai kisaran nilai 0.27–0.37, yang menjelaskan bahwa tingkat kematangan derajat pembatubaraan Batubara Eosen Nanggulan termasuk dalam peringkat lignite, dimana nilai reflektan vitrinit diukur berdasarkan sub-maseral telocollinite.
Situs Formasi Nanggulan Eosen Kalibawang juga memiliki bidang perlapisan terdeformasi kedudukan lapisan miring ke arah timur laut dengan kemiringan <15° (miring landai). Bidang ini terletak di sebelah timur yang merupakan hasil rombakan pengangkatan Gunung Menoreh (morfotektonik).
Berdasar pendekatan geologi dan paleontologi itu tersibak pula berbagai potensi alam yang dapat dipelajari sebagai upaya untuk membangun peradaban di masa depan. Selalu ada keping-keping ilmu yang dapat dirajut untuk mendayagunakan artefak tidak hanya sebagai warisan budaya semata, melainkan sebagai bagian dari modul pembelajaran pembentukan peradaban.
Sebagai acuan bagaimana kita dapat secara berkesinambungan menyelaraskan diri dengan dinamika kesemestaan. Dengan kemajuan teknologi yang memberikan extended capacity pada kapasitas dan kompetensi kemanusiaan, yang antara lain maujud dalam konsep AI. Dalam konsep hunian vertikal dan horizontal yang semakin bijak dalam mengonsumsi sumber daya dan efisien dalam utilisasi waktu dan energi, dan juga ruang.
Seperti yang mungkin akan kita lihat pada kotamega NEOM yang menempati areal seluas 26.500 km² di pesisir laut Merah Saudi. Kawasan masa depan dengan sumber energi baru dan terbarukan (hidrogen, foton, angin, nuklir, juga bioenergi), transportasi ramah lingkungan, layanan kesehatan berbasis teknologi rekayasa biologi, hunian cerdas yang adaptif dan biobased serta pemanfaatan berbagai subset AI seperti _deep neural network, ASI, AGI, dll.
Kotamega yang terdiri dari Sindalah, Trojans, Oxagon, dan the LINE yang terbentang dalam garis horizontal sepanjang 170 km ini akan menjadi “artefak” manusia bagi generasi di masa depan.
Demikian pula “artefak” vertikal sebagaimana kota yang dulu hanya bisa dikategorikan sebagai kota imajiner, Regent International Center yang terletak di Qianjiang Century City, kawasan pusat bisnis Hangzhou.
Dimana gedung Regent International yang berbentuk huruf S ini, awalnya dirancang sebagai hotel mewah, tetapi kemudian diubah menjadi gedung apartemen kolosal, dengan kamar apartemen hunian kelas atas. Dengan bangunan setinggi 206 meter dan memiliki 39 lantai serta dihuni oleh sekitar 20 ribu orang.
Kota tegak menjulang yang dilengkapi dengan segenap kebutuhan warganya. Kota antar lantai yang secara filosofis mungkin sama dengan the LINE yang membujur dalam satu garis lurus yang terhubung dengan kapsul hipersonik.
Lokus yang menjadi bioma dan habitat manusia di masa depan. Kota yang minim konsumsi energi, minim eksploitasi lahan karena bahan pangan dapat dikembangkan melalui rekayasa genetika, bioengineering, dan pemanfaatan material maju. Dalam beraktivitaspun manusia akan bermigrasi sepenuhnya ke ruang hidup virtual yang telah sepenuhnya dapat mewadahi konsep extended life dengan extended personality yang membangun model interaksi tersendiri.
Bahkan ada kemungkinan di setiap kota masa depan itu, manusia akan membuat matahari-matahari baru dalam bentuk reaktor fusi sebagai sistem catu daya penghasil energi.
Saat ini Cina telah berhasil mengembangkan Experimental Advanced Superconducting Tokamak atau EAST yang pada November 2018, berhasil menghasilkan suhu elektron 100 juta derajat Celcius di plasma intinya, hampir tujuh kali suhu interior Matahari. Dan pada 2021, EAST dapat menghasilkan suhu plasma 100 juta derajat celacius yang berlangsung selama 20 detik.
Mari kita bayangkan akan hadirnya kota-kota tersembunyi dengan kamuflase sempurna dan adaptif terhadap dinamika geologi dan lingkungan, model komunikasi holographic& immersive, berseliwerannya Maglev, kapsul hipersonik, dan berbagai gerai daring yang menyediakan nano kapsul beraneka cita rasa kuliner dan suplai energi protein sesuai dengan kebutuhan yang telah didapatkan dari kalkulasi nutrigenetik.
Model teknologi yang dapat mengadopsi sensasi dan kenangan akan lintas rasa Keong Kuah Pedas/Kraca, dengan bahan utama keong sawah yang dimasak berkuah dengan bumbu-bumbu kuat yang memberi nuansa pedas dan segar hingga ke tenggorokan.
Lalu Dage, kudapan mirip kue yang berbahan dasar ampas kacang yang digumpalkan dan dijamurkan. Biasa disajikan berupa goreng tepung berbumbu dan disantap dengan cabe rawit atau lombok cengis.
Juga Semayi, lauk dari ampas kelapa yang dibumbui dan dipanggang di atas api kecil. Makanan yang menjadi simbol hidup melarat. Dan Tegean, makanan berupa sop sayur berkuah bening yang sangat menyegarkan. Isinya bayam, kecambah kedelai hitam, daun katuk, dan kedelai hitam, dibumbui bawang merah dan bawang putih, juga geprekan kencur yang aroma dan citarasanya sangat khas.
Jangan lupa Empal basah dari daging dan tetelan sapi yang dimasak dengan kuah santan yang kental. Kekhasan empal basah Banyumasan Bumiayu adalah adanya sensasi yang ditimbulkan oleh campuran srundeng kelapa dalam kuah kental tersebut.
Untuk kudapan ada Themlek, yang terbuat dari ampas tahu berbumbu yang digoreng dengan adonan tepung.
Selebihnya peradaban kuliner Bumiayu Banyumas telah menghasilkan kearifan lokal dalam bentuk ranjem, mie thayel, timus, klanthing, sempora (awug-awug), utri, puli (ciwel), ongol-ongol, gebral, kluban, grontol, mireng, kamir, moho, golang-galing, lopis, ondol-ondol, widaran, angleng klapa, angleng kacang, rujak mentah, rujak mateng, ampyang, grebi, dampleng (mirip combro), soto gorengan, Jangan Criwis dan kulit Sho, serta Ingkrig, Blanggem, dll.
Dan pada mulanya, itu semua mungkin berasal dari area Kali Glagah Bumiayu. Catatan peradaban yang mungkin telah menyimpan berbagai skenario yang akan terjadi di masa depan.